Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apes

25 Mei 2019   08:13 Diperbarui: 25 Mei 2019   08:27 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Pagi baru saja menyembul dari tidurnya yang penat. Tapi matahari sedemikian cepat merapat, membuat ubun mendidih bukan pada waktu yang tepat. Moor memacu motor melesat sangat. Isi kepalanya berpusing. 

Hari ini dia butuh uang seratus ribu rupiah bakal menambahi uang pembeli seragam dan sepatu anaknya yang akan masuk SMP. Tujuannya sekarang adalah menemui Sal, teman karib yang selalu rela meminjamkan uang. Meminjam seribu, harus dikembalikan dua ribu alias 9ngerente.

Moor benar-benar melahap jalan mulai dari rumahnya di ujung Plaju sampai ke lampu merah Jaka Baring. Dia berzigzag sehingga bergeloralah sumpah-serapah pengendara lain. Jangankan jalan, trotoar pun disetubuhi ban motornya yang mulus-gundul itu. 

Bukan memang Moor senang mengebut. Emosinya saja yang meledak-ledak karena Safiah, istrinya, selalu menyerocos terus serupa cerobong Pusri tentang kelambanan suaminya itu mencari uang. 

Padahal Moor bukan tak mau mencari uang. Uang yang tak mau menyembah di telapak tangannya. Bekerja sudah. Apalagi! Bahkan dia rela bekerja seperti jongos di warung nasi Marjian. Apesnya, Marjian baru bisa membayar upahnya separoh. Dia berjanji dua minggu ke depan akan melunasinya.

"Kerja kok membantu-bantu orang di warung. Lihat tuh si Samidin, Karudin dan kawanmu yang Din-Din itu, mereka cukup uang, bahkan untuk foya-foya di kedai tuak Marolop." Suara Safiah mengiang-ngiang menyakitkan. Membuat telinga panas seperti habis dientup tawon. 

"Aku bosan malak seperti mereka. Sakit rasanya dipermak petugas ketika dua bulan lalu aku memalak bis kota di Sudirman. Kerja yang lurus-lurus sajalah."

"Uh, apa guna badan Abang tegap seperti Rambo!"

"Apa badan tegap harus menjadi pemalak?"

"Apa guna rambut plontos?"

"Bukannya aku tak ingin berambut. Rambut saja yang ogah tumbuh di sini." Moor menunjuk batok kepalanya. 

Dasar kutu kupluk! Dia mengumpat dalam hati. Seandainya umpatan itu pecah di mulut, habislah telinganya diberondong kata-kata Safiah serupa ribuan peluru yang diselakkan membabibuta.

"Oiii! Jalan, Mang! Memangnya jalan bapak kau!" Seseorang meneriaki Moor. Lelaki itu baru sadar lampu hijau sudah menyala. Buru-buru digasnya motor. Dia tak ingin terlambat tiba di Bukit Besar, kediaman si Sal. Terlambat artinya tak bisa bertemu lelaki itu, dan dia pulang membawa tangan hampa.

Moor hampir mencapai pertengahan Jembatan Ampera. Tiba-tiba matanya tertumbuk ke sebuah benda sekitar lima meteran di depannya. Waladalah! Sebuah dompet. Ide cemerlang bergemerlap di dalam batok kepalanya. 

Dia tak mau berpikir panjang, langsung mengerem motor, lalu mengambil dompet itu. Tapi suara desingan dan benturan benda membuatnya tersedak. Sebuah bis kota menabrak motor yang dia pakai. Motor itu terhumbalang mencium trotoar. 

Moor mengacungkan tinju. Karena merasa tak mempunyai mata untuk melihat tinjunya yang tak seberapa, bis kota itu tetap menancap gas. Dengan gerutuan, Moor mencoba menarik simpati pengendara lain yang berhenti tujuh-delapan orang. Tentu saja setelah dia mengamankan dompet di saku belakang celana jins-nya.

Seorang lelaki berseragam hijau-hijau langsung memberi komentar, "Salah Bapak sebenarnya. Kenapa Bapak berhenti mendadak? Di Jembatan Ampera peraturannya tak boleh berhenti, kecuali kendaraan Bapak rusak atau mogok."

"Iya, Bapak ini yang salah. Aku hampir ikut celaka kalau tak cepat-cepat mengerem motorku."  

"Iya, Iya! Dia yang salah!" sambut yang lain sambil lalu. Tinggallah Moor menyesali derita. Dia menegakkan motor itu. Untung mesinnya masih bisa dihidupkan. Tapi bagian sayap depan rompal. Kaca lampu depan pecah seribu. Dia menggerutu. Dia melaju menuju bengkel. Dipikir-pikir, Robert, si pemilik motor, pasti akan marah bila Moor mengembalikan motor dengan kondisi begitu.

"Sejam-dua kuambil lagi. Pokoknya didandani yang benar." Moor seakan seorang bos menyuruh pekerja bengkel yang langsung mengerucut muncungnya. Kemudian Moor menyetop bis kota menuju Bukit Besar. 

Dalam hatinya, Sal akan berbaik hati meminjamkannya lebih dari seratus ribu. Jadilah buat tambahan pembeli rokok. Mulutnya belakangan ini sering pahit karena dia dijatahi Saifah satu batang rokok setiap hari.

Beruntung nian lelaki satu ini. Sal memang sedang duduk di teras rumahnya. Tapi tampilan wajahnya yang semberawut, membuat nyali Moor runtuh. Andaikata lelaki itu memberikan pinjaman seratus ribu, pun sudah syukur. Kalau hanya lima puluh ribu, atau lebih parah tidak sama sekali, bagaimana?

Bincang-bincang yang sengaja dihangat-hangatkan pun terurai. Ujung-ujungnya masalah pinjam-meminjam. Sal menggerutu dan mengaku lagi bokek. Namun setelah Moor melayangkan rayuan pulau kelapa, alhasil lelaki itu merelakan uang yang sudah lecek dari dompetnya. "Kau sudah tahu berapa harus mengembalikannya, kan?" Sal mencoba tersenyum.

"Seratus lima puluh!" Moor membalas.

"Kepalamu! Dua ratus ribu!" 

Hutang-menghutang selesai sudah. Tinggal menemui pekerja bengkel dan pulang ke rumah. Saat berada di dalam bis kota, mendadak Moor cemas memikirkan bagaimana cara membayar seluruh biaya berdandan motor itu.

"Alaaah, bodohnya! Ini dia senjata yang aku lupa!" Moor cengengesan kepada lelaki yang duduk di seberangnya. Mungkin lelaki itu menganggapnya kurang waras.

Sreeet! Penghuni saku belakang jins-nya berpindah ke genggaman. Terbayang uang melimpah di dalamnya. Terbayang akan sempat ke diskotik nanti malam. Ahai, rejeki memang tak ke mana.

Namun Moor pucat pasi dan buru-buru membuang dompet itu. Tak ada barang berharga di dalamnya, seperti kartu atm, kartu kredit, termasuk uang seperak pun. Yang ada  hanya parasut bergetah yang dulu biasa Moor kenakan ketika mengunjungi Leha di panti pijat.

Moor menghembuskan napas galau. Sebuah bengkel terlewati. Motor pinjaman itu sepertinya sudah selesai didandani.

-sekian-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun