Bincang-bincang yang sengaja dihangat-hangatkan pun terurai. Ujung-ujungnya masalah pinjam-meminjam. Sal menggerutu dan mengaku lagi bokek. Namun setelah Moor melayangkan rayuan pulau kelapa, alhasil lelaki itu merelakan uang yang sudah lecek dari dompetnya. "Kau sudah tahu berapa harus mengembalikannya, kan?" Sal mencoba tersenyum.
"Seratus lima puluh!" Moor membalas.
"Kepalamu! Dua ratus ribu!"Â
Hutang-menghutang selesai sudah. Tinggal menemui pekerja bengkel dan pulang ke rumah. Saat berada di dalam bis kota, mendadak Moor cemas memikirkan bagaimana cara membayar seluruh biaya berdandan motor itu.
"Alaaah, bodohnya! Ini dia senjata yang aku lupa!" Moor cengengesan kepada lelaki yang duduk di seberangnya. Mungkin lelaki itu menganggapnya kurang waras.
Sreeet! Penghuni saku belakang jins-nya berpindah ke genggaman. Terbayang uang melimpah di dalamnya. Terbayang akan sempat ke diskotik nanti malam. Ahai, rejeki memang tak ke mana.
Namun Moor pucat pasi dan buru-buru membuang dompet itu. Tak ada barang berharga di dalamnya, seperti kartu atm, kartu kredit, termasuk uang seperak pun. Yang ada  hanya parasut bergetah yang dulu biasa Moor kenakan ketika mengunjungi Leha di panti pijat.
Moor menghembuskan napas galau. Sebuah bengkel terlewati. Motor pinjaman itu sepertinya sudah selesai didandani.
-sekian-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H