Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Penghipnotis

15 Mei 2019   17:44 Diperbarui: 15 Mei 2019   17:57 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Terik matahari menyengat. Jalan Sudirman mendengus dengan deru kenderaan bermotor yang lalu-lalang. Angin berhembus perlahan, perih menyeka keringat. Rima, perempuan berumur delapan belasan tahun itu, tetap berdiri di halte bus. Sedari tadi dia celingak-celinguk, menunggu bus yang belum pasti kapan tiba. Memang sudah ada satu-dua lewat. Hanya muatannya sarat. Orang-orang bergelantungan serupa monyet di pintunya. Begitu bus mengerem, mereka tersorong ke depan. Begitu bus melaju, tubuh-tubuh yang saling merapat itu, condong ke belakang. 

Sebenarnya kondisi demikian, biasa dihadapi Rima. Setiap pulang sekolah, dia selalu setia menunggu bus di halte, ditemani sebotol minuman ringan, sepotong roti harga seribuan dan membaca novel kesayangan yang selalu dibawanya demi membunuh kejemuan menunggu bus. 

Berbeda dengan siang ini, dia merasa tak nyaman. Seorang lelaki yang seumuran dengan bapaknya, seperti memperhatikannya sejak tadi dari bangku halte. Rima berusaha menjauh, bahkan sempat berdiri di dekat gerobak yang menyempil di pinggir halte. Namun si lelaki tetap memperhatikannya.

Kalau lelaki itu bergaya bagaikan lelaki kebanyakan yang sering dijumpainya di situ, mungkin tak masalah. Ini dia sangat berbeda. Lelaki itu memakai topi koboi lebar. Mengenakan kacamata hitam. Berpakaian serba hitam, lusuh dan sedikit berbau apek. Dia juga menggenggam sebuah kitab kecil. Seperti Al Qur'an. Syakwasangka Rima jatuh bahwa dia tukang gendam. Tukang hipnotis yang sering beraksi, dan menghiasi halaman surat kabar-surat kabar ibukota belakangan ini.

Maya, teman sekelasnya pernah bercerita, bahwa sepupunya pernah dihipnotis orang. Pertama penghipnotis itu pura-pura menepuk pundak sepupunya seolah kenal. Lalu penghipnotis bercerita panjang-lebar sembari menunjukkan Al Qur'an kecil yang disebutnya Istanbul. Merembet ke persoalan lain, dia bercerita yang magis-magis. Ujung-ujungnya sepupu Maya sadar setelah ditinggalkan penghipnotis dengan kondisi kehilangan hp, uang di dompet, serta jam tangan mahal kesayangannya. Sepupu Maya tak melapor ke polisi kala itu. Katanya malu. Padahal menurut Rima pelaku hipnotis itu harus diadukan ke polisi, kemudian ditangkap agar jera.

Rima membalikkan badan. Dia berharap lelaki mencurigakan itu telah pergi. Ternyata dia masih ada. Dia masih memperhatikan Rima. Sementara halte telah sepi. Selain Rima dan lelaki mencurigakan itu, hanya ada perempuan tua yang terkantuk-kantuk di dalam gerobak jualannya. Kalau Rima dihipnotis, siapa yang bisa menolong? Keringatnya seketika mengalir deras.

Seharusnya tadi Rima menerima tawaran Andi untuk membonceng di motor gedenya. Tapi dia menolak halus. Menerima tawarannya, sama saja menunjukkan bahwa Rima telah takluk kepada Andi. Artinya, dia mulai membuka hati kepada lelaki yang mati-matian mencintainya itu. 

Ah, bagaimana ini?

Mau menelepon Kak Raka agar menjemputnya, pasti sulit. Dua hari ini mereka bermusuhan, karena kemarin Rima menolak membuatkan jus jeruk dingin saat Kak Raka kehausan sepulang berolahraga. Lagian, pulsa hp Rima sudah habis. Mau ke warung telekomunikasi, jauh. Sekarang warung telekomunikasi banyak yang tutup karena kalah bersaing dengan hp.

Oh, Tuhan. Apa yang harus dilakukan Rima?

Beruntung sebuah bus jurusan ke rumah Rima datang terangguk-angguk dari ujung jalan. Dia tak mau berpikir-pikir lagi, harus masuk ke dalam bus ketika  berhenti di halte. Tak perduli walaupun penumpangnya penuh sesak. Tak perduli pada bau busuk orang-orang oleh leleran keringat di panas terik begini. Yang penting, Rima bebas dari lelaki mencurigakan itu.

"Kartini, Kartini!" teriak kondektur. Bus berhenti buru-buru. Kondisi penumpang termasuk lega. Tak penuh seperti yang sebelumnya. Rima bergegas naik dan duduk dipisahkan satu kursi di belakang sopir. Bangku itu kosong. Berarti Rima bisa santai menguasai dua tempat duduk sekaligus, kalau-kalau tak ada lagi penumpang lain yang akan naik.

Rima membuang napas lega. Novel dikeluarkannya dari dalam tas. Sampai di mana dia tadi membacanya? O, ooo. Rima lupa. Gara-gara lelaki mencurigakan itu, dia sampai tak ingat di halaman berapa dia berhenti membaca. 

Kala asyik menikmati baris demi  kalimat di novel itu, dia mendengar seseorang berbicara, "Bapak duduk di sini saja, ya! Hehehe, beruntung di dekat cewek cantik!"

Rima terkejut. Lelaki mencurigakan itu telah duduk di sebelahnya. Si kondektur hanya mesem-mesem setelah dia berhasil mendudukkan lelaki itu di sebelah Rima. Aduh, bagaimana ini? Mulut Rima komat-kamit berharap Tuhan menyelamatkannya. Kalau sampai dia berhasil dihipnotis, uang limaratusan ribu rupiah di tasnya bisa lenyap. Padahal uang itu adalah hadiah lomba cerpen yang diterimanya tadi pagi dari bapak kepala sekolah. Rima menjadi juara satu di acara lomba cerpen di sekolahnya.

"Tujuannya ke mana?" tanya lelaki itu tiba-tiba. Jantung Rima seolah berhenti berdetak. Dia tak mau menoleh, apalagi sampai menjawab. "Saya ke Jalan Kartini. Tahu jalan itu, kan?" lanjutnya. Rima bertambah ketakutan. Dia satu tujuan dengan lelaki itu. Berarti mereka sama-sama turun di halte yang sama. Lalu lelaki mencurigakan itu akan menepuk pundak Rima. Menunjukkan Istanbul. Membuatnya kehilangan segalanya tanpa sadar. Termasuk mungkin, keperawanannya. Karena penjahat-penjahat sekarang sudah super edan. 

"Saya baru beberapa hari berada di kota ini. Saya bingung, sering tersesat. Untunglah banyak yang membantu saya, termasuk orang tadi. Katanya dia kondektur bus. Dia langganan saya. Kalau tidak, saya pasti tak tahu pasti apakah bus yang saya tumpangi benar pergi ke Jalan Kartini atau tidak."

Terserah kau! batin Rima.

Merasa tak ada respon, lelaki itu membisu. Lama-lama kepalanya oleng ke sana-ke mari. Dia rupanya tertidur. Rima menyangga bahunya dengan tas, agar kalau kepala lelaki itu condong ke arahnya, tak sampai menempel di bahu

"Kartini!" teriak kondektur. Rima menghembuskan napas lega. Begitu bus belum sepenuhnya berhenti, dia langsung menerobos melewati lelaki mencurigakan yang tertidur itu.

Lelaki itu tersentak. Gelagapan. Dia menjerit tertahan karena tak sengaja Rima menginjak kakinya.

"Yang sabar, Neng. Kasihan, orang tua kok digituin!" teriak kondektur.

Rima cuek saja. Untuk apa kasihan dengan orang jahat begitu. Salah-salah dia bisa dihipnotisnya. Oh, Tuhan. Rima benar-benar lega setelah sampai di rumahnya.

* * *

Rima kelabakan ketika melihat lelaki mencurigakan itu telah duduk di halte siang ini. Tapi dia tak setakut kemarin. Sekarang dia bersama teman-temannya. Semua searah; sama-sama ke rumah Rima. Mereka mau belajar bersama.

"Wah, bapak sudah di sini! Maaf, aku terlambat menjemput," ucap seseorang. Tak sengaja Rima menoleh. Dia melihat orang yang berbicara barusan adalah Kiki, tetangganya di Jalan Kartini.

"Eh, Rima!" sapa Kiki ketika melihatnya. "Mau pulang, ya? Sama aku saja."

"Tak usah, Ki. Takut tak muat di mobilmu. Aku dengan teman-teman, nih!" jawab Rima. Teman-teman Rima riuh. Soalnya Kiki memang keren. Wajahnya putih-bersih dan berhidung mancung.

"Okelah!" Dia menggamit tangan lelaki mencurigakan itu. "Aku dengan bapak ini saja."

Rima heran. Bagaimana mungkin Kiki berteman dengan penghinotis?

Tapi keheranan Rima akhirnya terjawab. Lelaki mencurigakan itu sebenarnya buta. Kata Kiki, dia itu bekerja sebagai tukang pijat di panti pijat yang terletak di Jalan Kartini.

"Papaku dipijatnya kemarin sore. Karena kasihan, papaku menyuruhku selalu menjemputnya setiap siang ke halte ini. Ya, hitung-hitung beramal."

Hati Rima trenyuh. Dia merasa bersalah, sebab menganggap lelaki buta itu sebagai penghipnotis. Pantaslah si kondektur bus kemarin kelihatan marah ketika dia menginjak tak sengaja kaki lelaki itu.

Ah, betapa berdosanya aku. Tapi sudahlah, yang kuperbuat hanya untuk berwaspada saja! B0atin  Rima mencoba mengurangi rasa bersalahnya.

---sekian---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun