Rima cuek saja. Untuk apa kasihan dengan orang jahat begitu. Salah-salah dia bisa dihipnotisnya. Oh, Tuhan. Rima benar-benar lega setelah sampai di rumahnya.
* * *
Rima kelabakan ketika melihat lelaki mencurigakan itu telah duduk di halte siang ini. Tapi dia tak setakut kemarin. Sekarang dia bersama teman-temannya. Semua searah; sama-sama ke rumah Rima. Mereka mau belajar bersama.
"Wah, bapak sudah di sini! Maaf, aku terlambat menjemput," ucap seseorang. Tak sengaja Rima menoleh. Dia melihat orang yang berbicara barusan adalah Kiki, tetangganya di Jalan Kartini.
"Eh, Rima!" sapa Kiki ketika melihatnya. "Mau pulang, ya? Sama aku saja."
"Tak usah, Ki. Takut tak muat di mobilmu. Aku dengan teman-teman, nih!" jawab Rima. Teman-teman Rima riuh. Soalnya Kiki memang keren. Wajahnya putih-bersih dan berhidung mancung.
"Okelah!" Dia menggamit tangan lelaki mencurigakan itu. "Aku dengan bapak ini saja."
Rima heran. Bagaimana mungkin Kiki berteman dengan penghinotis?
Tapi keheranan Rima akhirnya terjawab. Lelaki mencurigakan itu sebenarnya buta. Kata Kiki, dia itu bekerja sebagai tukang pijat di panti pijat yang terletak di Jalan Kartini.
"Papaku dipijatnya kemarin sore. Karena kasihan, papaku menyuruhku selalu menjemputnya setiap siang ke halte ini. Ya, hitung-hitung beramal."
Hati Rima trenyuh. Dia merasa bersalah, sebab menganggap lelaki buta itu sebagai penghipnotis. Pantaslah si kondektur bus kemarin kelihatan marah ketika dia menginjak tak sengaja kaki lelaki itu.