Kutatap perempuan yang sedang bersandar di pagar pembatas itu. Matanya seolah bertanya, apa keputusanku.
Aku yakin dia belum tentu mau bersamaku saat aku susah dulu. Dia hanya melihat jasadku setelah sukses. Apa jadinya jika hidupku kembali terpuruk? Apakah dia masih setia?
Istri terbaik itu adalah perempuan yang hadir dan setia ketika aku susah, bukan ketika aku senang.
Lamat terdengar suara cempreng anak-anak meneriakkan sahur. Aku tersadar. Segera kuraih jas dan tas jinjing. Memanggil pelayan dan membayarnya. Perlahan menggenggamkan kunci kamar hotel kepada perempuan di depanku.
"Kenapa, Mas?" Dia bertanya sambil menatap mataku dalam-dalam.
"Aku merasa bodoh berpindah ke kamar lain, sementara aku sudah memiliki kamar yang hangat selama ini."
"Bagaimana tentang rencana menikahiku?"
"Tidak!"
"Kau akan kehilangan proyek itu, Mas!"
Aku tersenyum. "Biarlah! Kenapa aku harus berpaling ketika istri bersusah payah merawat cintaku kepadanya."
"Kau pembohong!"