Mama berulang kali melarang Bobo mengemil di  kamar tidur. Tapi dasar bandel, Bobot tetap saja melakukannya. Begitu dilarang, eh... dua tiga hari kemudian, dia mengulanginya lagi.Â
Kamar Bobo menjadi terlihat jorok. Kulit kacang, bungkus permen, lelehan coklat, berserakan di mana-mana. Bik Nah sampai mengeluh ketika harus membersihkan kamar itu. Sebagian sisa makanan mengeras di lantai.Â
Sore itu Paman datang berkunjung. Dia membawa oleh-oleh kacang tanah. Dia tak lupa membawa buku cerita kesukaan Bobo. Kacang tanah itu direbus oleh Bik Nah. Setelah makan malam, mereka menyantap kacang tanah rebus di ruang keluarga.
Bobo tak sabar ingin membaca buku pemberian Paman. Sebelum pukul delapan delapan malam, dia permisi tidur duluan. Tak  lupa dia menjumput kacang tanah rebus, lalu memasukkannya ke dalam kantong baju.Â
Hmm, asyik, pikirnya dalam hati. Dia mengunyah kacang itu  sambil tiduran di atas dipan. Dia mulai membaca buku pemberian Paman. Saat akan membuang kulit kacang ke atas lantai,  Bobo cepat-cepat mengurungkan niatnya. Mama pasti marah. Bik Nah tak urung mengeluh. Hmm, ada akal. Kulit kacang itu dia masukkan ke sela dipan dan dinding. Aman, pikirnya!
Sejak itu, hampir setiap malam Bobo selalu makan apa saja di atas dipan. Ketika ada kulit atau ada sisa makanan, maka pluk, dia tinggal memasukkannya ke sela antara dipan dan dinding.
Lama kelamaan, sampah menumpuk di bawah dipan. Mama dan Bik Nah yang tak pernah melongok ke bawah kolong dipan, menganggap Bobo sudah meninggalkan kebiasaan buruknya.Â
***
Suatu malam Bobo mendengar suara mendesis-desis. Apakah itu suara ular? Hii, bagaimana mungkin ular masuk ke kamarnya? Dia cepat-cepat mengambil pemukul bola kasti sambil mencari-cari asal suara itu. Di dalam lemari tak ada apa-apa. Di kolong meja belajar juga kosong. Hmm, dia melongok ke kolong dipan yang agak rendah, hanya gelap yang terlihat. Dia mengambil sentar dan menyalakannya.
Haaa! Dia terkejut melihat apa yang ada di kolong dipan. Sekumpulan semut sedang merubung sisa makanan di dekat dinding. Tiba-tiba semut-semut itu berjalan mendekati Bobo. Seekor semut paling besar, berusaha menggigitnya.
"Hus, hus!" usirnya.Â
"Kenapa kau mengusir kami? Ini tempat kami! Rumah kami!" kata semut itu. Bobo heran, bagaimana mungkin semut bisa berbicara seperti manusia.
"Pergi jauh-jauh! Ini kamarku. Hus, hus!"
"Di sini tempat kami karena banyak makanan. Lagi pula, di sini kami tak terkena hujan dan panas. Kami juga tak mengganggumu. Kami hanya tinggal di kolong dipan."
Bobo kesal, lalu memanggil Mama. Tapi Mama tidak datang-datang juga. Seisi rumah benar-benar  kosong. Ke mana mereka semua, ya? Padahal malam begini waktunya untuk tidur.Â
Bobo mengambil sapu ijuk. Dia mau mengusir semua semut itu. Semut-semut itu malahan menyerangnya. Mereka menggigit kaki Bobo, sehingga dia terjatuh. Dia berguling-guling di atas lantai.
"Tolong! Tolong!" jeritnya.
"Hei, Bo! Kenapa tidur di lantai?" Seseorang menepuk pelan lengannya. Ternyata Bobo bermimpi. Tapi memang benar ada semut merah yang mengigit kakinya hingga bengkak. Semut itu sudah mati.Â
"Huhuhu! Sakit sekali, Ma. Semut itu mengigitku." Bobo memeluk Mama. Dia minta kakinya diolesi minyak kayu putih. Mama yang masih setengah mengantuk, melihat barisan semut berjalan ke kolong dipan. Dia melotot kesal ke arah Bobo ketika  melihat banyak semut di kolong dipan.
"Kenapa banyak semut di kolong dipan? Aha, Mama tahu! Jadi itu masalahnya, ya!" Mama keluar dari kamar tidur Bobo.
Sejak saat itu Bobo tak mau lagi mengemil di kamar tidur. Sakit dan bengkak di kakinya karena digigit semut merah baru hilang setelah tiga hari. Dia tak mau itu terulang lagi.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H