Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Moa Moa

8 Mei 2019   12:21 Diperbarui: 8 Mei 2019   12:40 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku sekarang mempunyai teman baru, lho! Kenalkan, namanya Moa Moa. 

Lucu, ya? Namanya selucu telinganya yang panjang. Bulu putihnya yang lebat. Hidungnya yang suka basah dan bergerak-gerak. 

"Kelinci ini Paman berikan kepada Fia, agar dirawat baik-baik. Dia akan menjadi teman Fia yang menyenangkan!" Itu kata Paman ketika memberikan Moa Moa kepadaku tiga minggu lalu.

Papa buru-buru membuatkan kandang di kebun belakang. Karena sangat sayang kepada Moa Moa, aku lebih senang menaruhnya di kamar. Sering sekali dia masuk ke bawah selimut, lalu tertidur.

"Sebaiknya Moa Moa ditaruh di kebun belakang saja, Fia! Dia butuh udara yang segar," tegur Mama suatu hari.

"Fia senang Moa Moa di kamar ini. Moa Moa juga," ucapku memberi alasan. Mama hanya tersenyum. 

Suatu pagi sebelum pelajaran sekolah dimulai, aku, Mira dan Andien berkumpul di meja Mira. Apalagi yang dibicarakan kalau bukan tentang hewan peliharaan.

"Kucing anggoraku lucu, deh! Namanya Mika. Dia senang mendengkur. Tapi hari ini dia lesu. Kata Mama mungkin dia sedang tak enak badan." Mira bercerita dengan wajah bercahaya seperti bulan purnama.

"Aku punya ikan arwana. Sudah besar. Pemberian Nenek. Kalau makan, ikan arwana itu sangat lahap. Hati-hati, jangan sampai berani memasukkan tangan ke akuarium. Hii, jari kita bisa putus kalau digigitnya." Lain pula cerita Andien. "Tapi aku sangat sayang kepadanya."

"Kau ada hewan peliharaan juga, Fia?" tanya Mira. Di antara mereka bertiga, aku paling pendiam. Aku sering menjadi pendengar saja. Tapi mengenai Moa Moa, sepertinya aku tak tahan untuk bercerita.

Kedua temanku itu langsung kesenangan ketika aku mengakhiri cerita. Mereka memaksa mau melihat langsung Moa Moa. Ya, aku tak dapat menolak. Aku juga sangat senang ada teman-teman yang ikut melihat kelucuan Moa Moa.

Saat kami bertiga sampai di rumah, Moa Moa tak ada di kamarku. Kata Mama Moa Moa ada di kebun belakang. Sambil berlarian, kami ke sana. Tapi apa yang terjadi? Ketika Mira hendak menyentuh Moa Moa, hewan itu tiba-tiba berlari ketakutan. Aku mencoba mendekatinya saat meringkuk di bawah kandang. Moa Moa mengamuk. Dia hampir mencakar tanganku.

Aku merasa malu kepada Mira dan Andien. Ternyata hewan peliharaanku tak sejinak seperti yang kuceritakan. 

"Kemarin-kemarin Moa Moa tak seperti itu, kok!" kataku membela diri saat bertemu mereka keesokan harinya. Mereka hanya tersenyum seakan mengacuhkanku.

Tiba-tiba aku merasa benci kepada Moa Moa. Mama yang berulangkali menyarankan agar aku melihat hewan itu di kebun belakang, kutanggapi dengan gelengan. Aku telah memusuhi Moa Moa. Aku membencinya. Moa Moa menyebabkan aku dimusuhi Mira dan Andien.

"Moa Moa dikembalikan saja kepada Paman, Pa!" saranku kepada Papa.

"Kenapa? Bukankah Fia sangat menyayanginya?" Papa membujuk. Aku hanya cemberut seperti mulut ikan mas koki."Okelah, nanti Papa suruh Paman menjemput Moa Moa."

Siang ini ketika Paman datang, Moa Moa tak ditemukan di kebun belakang. Aku yang sedang menikmati liburan di hari Minggu sambil membaca buku cerita, merasa terganggu oleh suara ribut Mama. 

Syukurlah, Moa Moa hilang. Jadi, tak lagi memusingkanku. Batinku berucap senang.

Dari suara ribut Mama, mendadak Paman tertawa terbahak-bahak. Mama juga menjerit kesenangan. Aku merasa penasaran, lalu berlari ke kebun belakang. 

"Ada apa, Ma?" tanyaku.

Paman keluar dari kolong rumah dengan tersenyum cerah. Kepalanya penuh sarang laba-laba. Kata Paman, "Pantasan Moa Moa galak belakangan ini, Fia. Rupanya dia sedang hamil. Sekarang dia sudah melahirkan di kolong rumah. Ada tiga ekor anaknya, dan sangat lucu."

"Moa Moa melahirkan?" jeritku. Aku merasa bersalah telah membenci Moa Moa beberapa hari ini. "Maafkan Fia ya, Moa Moa!" Aku tersipu saat Paman mengelus kepalaku. 

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun