Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deru Debu IV

2 Mei 2019   16:38 Diperbarui: 13 Juni 2019   10:50 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak banyak lagi perbincangan di antara keduanya, selain saling memperkenalkan nama. Nama perempuan itu Imah. Biasa dipanggil Cik Imah.

Panggilan kernet agar semua penumpang duduk di kursinya masing-masing, semakin cepat memenggal percakapan mereka. Bus menderum-derum. Kecik kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum lebar. Dia memiliki cukup uang sekarang. Dia membeli sebungkus kacang rebus, lalu menyantapnya di bangku panjang.

Begitu banyak dilihatnya rejeki di terminal itu. Tentunya meski anak tersesat, tapi dia tak akan mati. Asal mau bekerja, dia bisa cukup makan-minum dan istirahat. Mengenai tempat tinggal, biarlah sementara tinggal di rumah Musa.  Nanti Kecik akan membayar sewa, juga menambahi biaya dapur keluarga Musa. Termasuk tentu saja membeli pakaian baru. Dia tak enak hati terus-terusan mengenakan pakaian pemberian Musa.

"Hei!" Seseorang menepuk bahu Kecik. Ternyata dia Musa. Katanya dia mau mengaso sebentar. Kepalanya sedikit pusing. Dia memberikan barang asongan kepada Kecik. Dia memberikan catatan harga-harga barang asongan itu. "Kau bisa berjualan, kan?"

Kecik mengangguk. Tanpa menunggu perintah selanjutnya, dia sudah melesat di antara jubelan orang. Suaranya nyaring, semangatnya melenting. Dia berpikir akan bisa sukses, lalu kelak pulang ke kampung tanpa beban kegagalan. Pelariannya kiranya menemukan hasil.

 "Rokok ya rokok... Permennya....." Teriakannya meningkahi teriakan orang-orang. Seorang dua lelaki memanggil dan membeli rokoknya. Beberapa perempuan membeli permen, juga tisu muka. Mudah juga rupanya mencari uang. Di kota besar begini, asal mau usaha, rejeki itu akan mengalir. Kalau di kampung, bertani atau berladanglah yang bisa diandalkan. Membuka kedai tentulah lebih sering gigit jari. Banyak memang yang membeli, tapi sebagian besar suka menghutang. Berhubung masih tetangga, tak enaklah menagih terus-terusan. Biarlah mereka mengerti sendiri.

Seperti ayah Kecik, hutangnya tersebar di mana-mana. Kadang ada selentingan nama baru yang sengaja dibuat orang olok-olokan. Ayah Kecik disebut si Raja Hutang. Bukan Raja Hutan alias macan. Kecik tersenyum geli mengingat itu. Ah, mudah-mudahan setelah dia melarikan diri dari rumah, ayahnya bisa berubah lebih baik. Setidak-tidaknya bertobat tak berniat menghajar terus anaknya ini. 

"Hei, rokok!" Seorang lelaki memanggil rokok. Kecik cengengesan. Rokok artinya memanggil Kecik. Cuma dia pedagang asongan yang kebetulan dekat dengan lelaki itu.

Sedikit geli dia melihat dandanan orang di depannya. Wajahnya rata dengan hidung yang hampir datar. Rambutnya hanya sedikit menghiasi kepala. Posisinya di tengah kepala. Memanjang dari kening hingga ke ceruk di tengkuk. Rambutnya tegak-tegak seperti embacang yang tinggal bijinya dengan sisa-sisa daging mencuat-cuat.

Hidungnya beranting satu, di cuping kanan. Telinganya beranting satu, persis di bagian kiri sebelah atas. Bukan berbentuk anting sebenarnya. Lebih mirip cincin belah rotan.

"Kenapa cengengesan? Gue mau beli rokok, tahu!" Lelaki itu marah. Usianya mungkin tak jauh beda dengan Kecik. Bisa jadi setahun-dua. Tapi setelah sebatang rokok terselip di sela jemari tangannya, dia terlihat sangat dewasa. Saat asap mengepul dari mulutnya yang monyong itu, dia hampir seperti cerobong lokomotif. Jas-jus, jas-jus, tuuut. Kecik teringat babaranjang---kereta dengan gerbong panjang pengangkut batubara---bila dia sekali-sekali ikut temannya berpelesir ke Muara Enim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun