Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duta

29 April 2019   12:46 Diperbarui: 29 April 2019   12:55 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tapi kata Wak Lebai, sebelum maghrib Bapak sudah di sini!"

"Mungkin sebentar lagi!" Air muka Emak tak sedap dilihat. Dia hanya menutup-nutupi perasaanya. Dia sama denganku, mencemaskan apakah Bapak benar atau tidak datang hari ini.

"Lalu mengapa Emak juga tak buru-buru shalat?"

"Ah, kau pandai pula bercakap!" Dia masuk ke bilik. Aku langsung berlari ke dapur, mencomot sepotong ayam goreng dari atas nampan. Juga menjumput beberapa lembar krupuk emping dari toples berukuran sedang.

Kemudian kutunggu Bapak di ruang tamu bersama para lelaki tetangga kami yang mulai datang seorang demi seorang. Para emak yang kemudian membawa anak-anak mereka yang rata-rata sebayaku, pun telah berceloteh ramai di dapur. Aku tak betah lagi berdiam diri. Aku ikut rombongan anak-anak itu menikmati kerak nasi yang diberikan para emak dengan dibungkus daun pisang. Punah sudah kecemasan menunggu Bapak. Kami bermain di lapangan sambil berteriak-teriak. Purnama pecah di balik rerimbun daun kelapa. 

Kami usia bermain, tak juga Bapak datang. Para bapak dan emak berinisiatif menikmati hidangan makan malam. Saat Wak Sirodj, kakak emak, melirik jam yang melingkar di tangannya sambil mengatakan sudah pukul sebelas, perkumpulan itu pun bubar. Tinggallah aku bertahan tidur di atas tikar. Tersentak berulangkali, seperti melihat seorang lelaki yang membawa sepeda mini di hadapanku. Dia mengatakan bahwa dia Bapakku. Tapi ah, ternyata aku hanya berkhayal.

Besoknya aku terlambat bangun. Matahari sudah tinggi. Entah siapa yang memindahkanku dari atas tikar di ruang tengah ke kasurku sendiri. Kudengar Emak bercakap dengan seseorang di halaman rumah. Sepertinya serius. Kuintip saja dari balik tirai jendela, siapa sebenarnya kawan Emak bercapak itu.

Kiranya lelaki itu adalah seseorang yang mengabarkan kedatangan Bapak saat fajar dua hari lalu. Lelaki itu kelihatan cemas. Wajahnya pucat. Tak kalah pula dengan tampilan wajah Emak yang seperti kapas. Si lelaki menunjuk-nunjuk ke arah selembar koran yang dibawanya. Emak melotot serius. Mungkin dia membaca isi beritanya. Sementara para Bapak dan Emak di kampung ini, mulai berdatangan. Mereka serius memperbincangkan sesuatu yang tak kufahami. Lalu mereka seperti menangis. 

Ah, aku tak sabaran. Aku langsung melompat dari atas kasur dan menerjang pintu kamar. Aku mencoba berlari menuju halaman rumah. Tapi tangan Wak Sirodj menggalangku. Aku berontak. Wak Sirodj buru-buru membetot tubuhku. Dia mengatakan bahwa Bapak belum jadi datang. Dia masih ingin membeli sepeda motor untuk dibawa ke  kampung kami.

"Tapi mengapa Emak dan orang-orang mesti menangis?" 

"Mereka hanya menangis gembira, karena Bapak pulang membawa uang banyak, juga sepeda motor." Dia menenangkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun