Seperti burung yang terbang mencari makan dari pagi sampai siang, dan petang hari dia kembali ke sarang demi melepaskan kerinduan kepada anak-anaknya, maka aku berharap demikianlah yang terjadi kepada Bapak. Hampir lima tahun dia telah melanglang buana ke negeri-negeri jauh yang tak tertangkap otak kekanakku. Tak ada kabar berita, kecuali berita mulut yang dibawa orang dari seberang kemarin fajar kepada Emak, bahwa Bapak akan pulang.Â
"Sejak kau berusia satu tahun, Bapak pergi merantau ke negeri yang jauh." Begitulah Emak pernah bercerita kepadaku. Saat itu usiaku masih lima tahun. Dalam bayanganku negeri jauh itu mungkin di balik awan. Atau jauh di ujung Sungai Musi. Atau bisa jadi di ujung jalan aspal yang melintas di depan rumahku.
Sebenarnya aku menunggu Bapak dengan perasaan yang campur-aduk. Sepihak aku gembira karena telah lama merindukannya. Sepihak lagi aku memendam rasa malu yang sangat. Bagaimana tidak. Terkabar dari teman-teman yang usianya hampir enam sampai tujuh tahun di atasku, Bapak bukanlah orang baik-baik. Bapak menjadi maling yang ditakuti di negeri orang. Hasil maling itulah kabarnya yang dibawa Bapak pulang berupa uang ratusan juta rupiah. Bahkan banyak orang berkata, entah mengada-ada, bahwa demi membawa uang yang banyak itu, Bapak terpaksa menyewa gerobak. Dikabarkan pula, kelak sesampai Bapak di kampung kami, akan diadakan hajatan penyambutannya.
Perasaan mengganjal di hati karena Bapak diceritakan teman-teman sebagai maling, pernah kutanyakan kepada Emak. Jawaban pertama darinya hanya pelototan. Kemudian dia menghembuskan napas yang berat. Selanjutnya barulah menjawab perlahan dan runut, "Bapak bukan maling, Nak. Dia duta. Dia mencari nafkah di negeri orang demi kita-kita juga. Lihatlah Bapak si Ito yang pergi  merantau sebagai duta ke negeri orang dua hari lalu. Bukankah sebelum dia berangkat diadakan dulu acara yang meriah! Yasinan dan dilanjutkan acara makan bersama." Aku teringat kenduri di rumah Ito. Acaranya sangat meriah. Aku sampai kekenyangan saat makan besar di acara kenduri itu.
"Berarti Bapak meminta-minta di negeri orang ya, Mak?" kejarku.
"Bukan meminta-minta. Tapi mengambil harta orang-orang kaya dan membagikannya ke kita di sini, juga orang-orang miskin lainnya."
"Tapi kata ustadz, maling itu tetap maling. Berdosa juga!" gerutuku.
"Husss!" Emak melotot.
Aku membisu. Di daerah kami di perkampungan Kayu Agung sekitar dua jam lebih perjalanan dengan mengendarai mobil umum dari kota Palembang, memang ada kebiasaan yang menjadi tradisi, tapi menurut pikiran kekanakku tak benar. Beberapa lelaki yang bertekad merantau ke negeri orang, sebab tak ada pencarian di daerah sendiri, memang bertujuan menjadi maling, atau lebih diperhalus dengan kata duta. Biasanya saat si duta akan berangkat, diadakan dulu acara yasinan, doa-doa dan diakhiri bersantap bersama. Itu diibaratkan bahwa si duta dilepas, dan dianggap mati di negeri orang. Kalau dia kembali dan membawa harta melimpah, itu adalah kemujuran dan kebaikan hati Allah SWT.
Ah, aku tersadar. Sudah hampir dua jam aku berdiri terus di ambang pintu. Gelap kiranya mulai merapat. Azan maghrib berkumandang. Emak sudah berulang-ulang mengintipi seluruh makanan di dapur. Semua sudah siap. Tikar telah pula digelar di ruang tamu. Para emak yang tadi sibuk bekerja, pun telah berangkat ke langgar. Bapak-bapak demikian adanya. Â
"Sudahlah! Masuklah ke dalam, Hasanuddin. Nanti kau masuk angin. Bukankah kau ingin segar-bugar saat bertemu Bapak?" Emak menarik tanganku, dan merapatkan daun pintu.
"Tapi kata Wak Lebai, sebelum maghrib Bapak sudah di sini!"
"Mungkin sebentar lagi!" Air muka Emak tak sedap dilihat. Dia hanya menutup-nutupi perasaanya. Dia sama denganku, mencemaskan apakah Bapak benar atau tidak datang hari ini.
"Lalu mengapa Emak juga tak buru-buru shalat?"
"Ah, kau pandai pula bercakap!" Dia masuk ke bilik. Aku langsung berlari ke dapur, mencomot sepotong ayam goreng dari atas nampan. Juga menjumput beberapa lembar krupuk emping dari toples berukuran sedang.
Kemudian kutunggu Bapak di ruang tamu bersama para lelaki tetangga kami yang mulai datang seorang demi seorang. Para emak yang kemudian membawa anak-anak mereka yang rata-rata sebayaku, pun telah berceloteh ramai di dapur. Aku tak betah lagi berdiam diri. Aku ikut rombongan anak-anak itu menikmati kerak nasi yang diberikan para emak dengan dibungkus daun pisang. Punah sudah kecemasan menunggu Bapak. Kami bermain di lapangan sambil berteriak-teriak. Purnama pecah di balik rerimbun daun kelapa.Â
Kami usia bermain, tak juga Bapak datang. Para bapak dan emak berinisiatif menikmati hidangan makan malam. Saat Wak Sirodj, kakak emak, melirik jam yang melingkar di tangannya sambil mengatakan sudah pukul sebelas, perkumpulan itu pun bubar. Tinggallah aku bertahan tidur di atas tikar. Tersentak berulangkali, seperti melihat seorang lelaki yang membawa sepeda mini di hadapanku. Dia mengatakan bahwa dia Bapakku. Tapi ah, ternyata aku hanya berkhayal.
Besoknya aku terlambat bangun. Matahari sudah tinggi. Entah siapa yang memindahkanku dari atas tikar di ruang tengah ke kasurku sendiri. Kudengar Emak bercakap dengan seseorang di halaman rumah. Sepertinya serius. Kuintip saja dari balik tirai jendela, siapa sebenarnya kawan Emak bercapak itu.
Kiranya lelaki itu adalah seseorang yang mengabarkan kedatangan Bapak saat fajar dua hari lalu. Lelaki itu kelihatan cemas. Wajahnya pucat. Tak kalah pula dengan tampilan wajah Emak yang seperti kapas. Si lelaki menunjuk-nunjuk ke arah selembar koran yang dibawanya. Emak melotot serius. Mungkin dia membaca isi beritanya. Sementara para Bapak dan Emak di kampung ini, mulai berdatangan. Mereka serius memperbincangkan sesuatu yang tak kufahami. Lalu mereka seperti menangis.Â
Ah, aku tak sabaran. Aku langsung melompat dari atas kasur dan menerjang pintu kamar. Aku mencoba berlari menuju halaman rumah. Tapi tangan Wak Sirodj menggalangku. Aku berontak. Wak Sirodj buru-buru membetot tubuhku. Dia mengatakan bahwa Bapak belum jadi datang. Dia masih ingin membeli sepeda motor untuk dibawa ke  kampung kami.
"Tapi mengapa Emak dan orang-orang mesti menangis?"Â
"Mereka hanya menangis gembira, karena Bapak pulang membawa uang banyak, juga sepeda motor." Dia menenangkanku.
Pikiran kekanakku pun berkeliaran manakala melihat beberapa teman mengejar ayam jantan di seberang jalan aspal. Pastilah ayam itu terlepas karena akan dilagakan dengan ayam lain. Seru pasti! Aku ingin menarungkan ayamku si Burik dengan ayam itu.
Perkara Bapak sudah kulupakan. Hingga di suatu siang, saat itu aku sudah duduk di kelas dua esde, aku tiba-tiba tertarik ke selembar koran yang terselip di lemari pakaian Emak. Ingatanku kembali ke beberapa tahun silam, tentang pertemuan Emak dengan orang yang membawa koran, dan kabar tentang Bapak. Hmm, beruntung kutemukan koran bersejarah itu. Beruntung aku sudah bisa membaca meskipun belum lancar.
Perlahan kubaca berita itu di paragraph pertama; Seorang maling kelas kakap yang selalu dicari-cari Kepolisian Diraja Malaysia, akhirnya tertangkap oleh Interpol di Bandara Soekarno-Hatta, Senin (30/2). Lelaki bernama Ahmadillah bin Ahder alias Kuccang alias Mat Brewok (32 thn) warga Kayu Agung Sumatera Selatan ini,  akhirnya tewas tertembak karena melawan pihak kepolisian  dan berusaha melarikan diri.
Aku terperengah. Aku goyah. Berita di koran inilah yang membuat orang-orang menangis sekian tahun lalu.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H