"Bam!" Suara berat menyetop langkahku. Aku terperangah seolah melihat beruang yang siap mencakarku sampai mampus. Mungkin wajahku seketika berubah seputih kapas. "Kau ke rumah Om Arnal, ya?"
"Aku...."
"Mana kantong plastik yang satunya?"
"Maaf...."
"Kau memang susah dikasih tahu. Sudah! Besok-besok aku tak akan meneraktirmu lagi!"
"Di!" Aku mengejarnya. Tapi tubuhnya telah lenyap di dalam mobil yang kemudian dipacu cepat.
* * *
Aldi akhirnya tak pernah lagi meneraktirku apa saja, termasuk makan. Dia seakan menganggapku musuh. Pernah tiga kali aku menelepon, tapi dia langsung mematikan ponselnya. Mungkin karena kesal, suatu hari dia mengirimkanku sms, kira-kira demikian; pokoknya gak ada cerita traktiran2. Aku ada teman yang lebih mendukung seleraku.
Aku merasa bersalah. Sewaktu ada pesta pernikahan seorang sepupu, aku berharap bisa bertemu dia. Sayang, aku terpaksa menelan kekecewaan. Aldi ternyata telah pindah ke kota Jakarta. Dia memperoleh jabatan baru yang lebih basah dan mantap.
Ketika istri Om Arnal meninggal dunia, dia tak menunjukkan batang hidungnya. Hanya ada karangan bunga bertuliskan namanya terpajang di ruang depan rumah Om Arnal. Aldi benar-benar telah melupakan sanak-saudara. Bahkan kala aku dengan rasa malu teramat sangat, meminjam uang via sms kepadanya, dia hanya membalas; yang sabar saja, aku lagi butuh uang juga.
Setahun lebih tak lagi bersua Aldi, hingga suatu hari aku mendapat kabar kalau dia sedang dirawat di ICCU sebuah rumah sakit mewah di Jakarta. Segera saja aku menelepon ibunya.