Mak yang sekarang menjadi babu di rumahku, sebenarnya orangtua kandungku. Dulu ketika dia membabu di rumah ayahku, aku masih sangat jauh di alam maya. Lalu di malam yang dingin dan mengigit tulang sum-sum, ayahku yang terbiar sendirian di rumah, merindukan sebuah pelukan dari seorang perempuan. Kebetulan istrinya sedang berpelesir ke negara tetangga. Kebetulan dia hanya berdua Mak di rumah. Manakala badai hujan semakin dalam menancapkan cakar di seantero kota, ayah tergoda menatap Mak yang tergolek di lapik tipis kamar belakang dengan kain yang tersingkap hingga atas lutut.
Itulah yang membuat ayah tak tahan. Mak yang mencoba menolak sesuatu yang tak benar itu, kiranya lebih senang ditipu dinginnya malam. Maka, yang terjadi, terjadilah. Aku kemudian ada, dan diterima ayah dengan sukacita. Sementara istrinya, meski mengetahui ayah telah berselingkuh dengan Mak, hanya mampu menceracau berbilang menit. Selebihnya dia memendam karat amarah di dada. Bagaimanapun dia tak sanggup memberikan hal yang membahagiakan ayah. Pertama, dia perempuan frigid. Kedua, dia itu mandul. Jadilah aku hidup di bawah asuhan ayah, istrinya yang sering kupanggil tante, dan ibu kandungku, si Mak yang tetap dianggap babu oleh ayah dan tante, tapi tidak bagiku.
Mengenai Heny, memang terpaksa kunikahi. Saat aku berpacaran dengan seorang perempuan dusun, perusahaan ayah tiba-tiba goyah. Karena tak ingin bangkrut total, ayah mencari jalan lain dengan menjalin kekerabatan dengan keluarga besar Heny, yang kala itu ayahnya adalah salah seorang pengusaha terkenal di kota ini.
Aku tak mampu memilih yang terbaik bagi masa depanku. Menentang kehendak ayah, sama saja memutuskan hubungan kekeluargaan kami. Ayah pernah mengancam akan mengusirku bila menolek menikahi Heny. Itu artinya, Mak juga terbuang, dan kami luntang-lantung di jalanan. Nyatanya setelah aku menikahi Heny, kondisi perusahaan ayah kembali normal.
Ah, kondisi demikian membuatku susah bukan kepalang. Aku sama sekali tak bisa mencintai Heny, meski dia telah menghadiahiku anak. Lalu, apakah aku sanggup memacari Laila, kemudian diceraikan Heny? Sungguh tak ada jawaban!
* * *
Senja di taman kota. Sepi. Sunyi. Hatiku yang sepi. Hatiku yang sunyi. Orang-orang yang saling bersenda gurau, hanya seibarat hantu yang mengelilingi. Aduhai, Laila tak kunjung tiba. Hampir pukul enam. Di mana wajahnya yang cantik dan kerling manjanya? Di mana, di mana?
Senja ini sama seperti senja-senja kemarin. Brengsek!
"Siapa dia?' Suara sengau seakan mengejek, menyelip ke liang telingaku.
"Dia mantan orang kaya, tapi sudah gila. Setiap senja dia selalu di sini, menunggu sesiapa entah untuk apa." Temannya menjawab. Sunyi lagi.
"Gila?"