Nama perempuan itu Nurlaila, biasa kupanggil Laila. Manis rupanya, genit tatap matanya. Kami baru sekian minggu berkenalan, setelah Tuhan mempertemukan kami di sebuah bis wangi berselaput ac. Entah memang Tuhan sekadar mempertemukan kami, entah pula Dia menyerahkan kepadaku tindak lanjutnya, mau berselingkuh atau bukan, toh aku akhirnya memilih yang pertama. Tuhan mungkin tak setuju, karena aku sudah beristri. Tapi bagaimana aku menolak aura cinta dari mata Nurlaila? Apalagi ketika pertama kali---tepatnya kemarin---dia berkunjung ke rumahku, Mak langsung takjub. Mak yang senja harinya menemaniku makan-makan di teras rumah, setuju jika aku memperistri perempuan itu.
"Ah, bagaimana dengan Heny, Mak?" Aku mencoba memupus harapan si Mak, meskipun sebenarnya hasratku sama seperti keinginan Mak.
"Kau mencintai Heny-kah?" Dia seakan mengaduk-aduk hatiku.
"Sampai sekarang belum, Mak!"
"Lalu?"
"Terlalu berat memutuskan mana yang harus dipilih. Memilih Heny sama saja membuatku meradang sekian tahun lagi, sehingga aku mati. Memilih Nurlaila, aku akan kehilangan Heny dan juga anak-anak. Artinya aku harus memulai dari nol besar."
"Tapi aku juga tak senang dengan Heny!"
"Begitu?"
"He-eh!"
* * *
Baru sekali inilah aku berani mengungkapkan rahasia hidupku yang kusimpan sekian lama. Hanya kepadamu. Hanya kepadamu!Â