Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Kosong

25 April 2019   15:06 Diperbarui: 25 April 2019   15:18 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada yang lebih indah selain menatap matamu tanpa tabir kabut. Apakah kau yang datang pagi ini mengetuk-ngetuk mimpiku? Sungguh, kurasakan terlalu lambat kau membangunkanku, setelah lampu-lampu jalan dan taman padam. Setelah kubaui aroma matahari yang hangat menyentuh bingkai jendela.

* * *

Pintu pagar halaman depan rumah berbunyi menyakitkan telinga, pertanda seseorang sedang menggesernya. Segera kuhentikan sejenak mengunyah roti isi mentega dan serutan keju. Aku memicingkan mata sambil melihat melintasi kaca jendela ruang tamu. Kemudian sigap kukecilkan volume televisi.

Aku sudah menebak seseorang berambut putih akan hadir di depan pintu ruang tamu. Perempuan itu. Perempuan yang hampir separuh hidupnya mengabdi kepada keluarga ayahku, dan sekarang kepada keluarga besarku; keluarga Batara Guru. Dan ternyata aku tak salah tebak. 

"Siapa, Mak?" tanyaku kepadanya. Lidahku lebih cocok memanggilnya Mak, meskipun sebagai majikan aku sangat berhak memanggil namanya, Inem. Atau lebih kasar lagi, Ngos, sebagai kependekan kata jongos. Tapi sungguh, selain lidahku cocok memanggilnya, Mak, aku juga sangat menghormatinya. Tak perduli bila dia hanya bekerja seibarat keset, dan sering kurang dihormati istri dan anak-anakku.

"Perempuan yang kemarin," jawabnya. Seorang perempuan berpakaian seksi menyusul di belakangnya. Dia tersenyum ramah. Dia, tanpa sungkan, langsung duduk di sofa. Aku memberi kode agar dia menunggu sebentar. 

Karena sudah rutinitas setiap kali ada tamu, Mak langsung ke belakang. Dia keluar lagi setelah di tangannya ada nampan yang di atasnya berdiri gelas berisi sirop. Ya, siapapun tamu yang datang, meskipun kere sekalipun, tetap dilayani dengan sirop. Pagi seperti ini, sirop hangat. Kalau tamu datangnya siang, sirop dingin. Malam hari barulah dihidangkan sirop panas.

"Apa kabar anda?" Aku duduk di hadapan perempuan itu sambil membuang pandang ke matanya, ketika tiba-tiba dia mengangkat kaki kanan dan menindihkannya ke paha kiri. 

"Baik, seperti yang Mas lihat." Dia menyeruput sirop hangat, seolah menggodaku.

Hmm, aku tersipu. Lama benar kami berbincang sampai dia permisi sambil tak lupa mengecup pipiku. Dia berjanji menungguku di taman kota nanti sore. Seperti biasa dia akan membawa oleh-oleh sekotak coklat yang segera kami nikmati sambil menatap matahari menuju peraduan.

Ah, beginikah rasanya jatuh cinta untuk kesekian kalinya? Ya, ya... Sungguh telah berkali aku jatuh cinta kepada berbagai tipe perempuan sejak remaja. Namun pilihan yang terpaksa, akhirnya melabuhkanku ke seorang perempuan gemuk-padat, yang sekarang menjadi istriku. Kau tahu, entah mengapa, hingga sekarang aku merasa masih bujangan. Maka, jangan salahkan kalau aku sampai termimpi-mimpi kepada perempuan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun