"Hahaha! Dia memang kreatif, Mas. Sering juga dia membawa mainan. Tapi tak mahal. Mainan itu dibuatnya dari barang bekas. Nanti kalau kau pulang, akan kutunjukkan. Hampir satu dus mie instan di bawah dipan Igor."
"Sudah! Tak usah lagi dia menjadi tukang ojek anak kita," geramku. "Apa kata orang. Suami tak ada, istri memasukkan orang lain ke rumah."
"Lho! Sampai sejauh ini rasa cemburumu, Mas? Sudahlah! Jangan terlalu didramatisir. Tapi kalau memang kau ingin dia diberhentikan, ya terserah! Berarti aku harus mengantar-jemput Igor dengan motormu, Mas!"
Aku ragu. Aku cemas. Irene tak mahir bermotor. Itu sama saja membuat mereka celaka. Ya, sudahlah! Aku harus percaya tak mungkin Irene membiarkan kucing garong masuk ke rumah kami. Dia istri setia seperti yang kukenal selama ini.
"Ya, sudah! Kau tak perlu memberhentikannya. Aku takut kalian celaka. Kau kan belum mahir mengendarai motor! Tapi kuharap kau menjaga keutuhan cinta kita, ya!"
"Percayalah akan kesetiaanku, Mas!"Â
Klik!Â
Seiring ditutupnya ponsel, sebuah ketokan di kaca box telepon mengejutkanku. Seraut wajah Palupi yang cemas membuatku tak nyaman. Aku keluar dari box telepon sambil tersenyum. Senyuman yang ragu-ragu.
"Bagaimana hasil pemeriksaan dokter itu?"
"Positif, Mas! Bagaimana ini?"Â
Aku tersentak. Petir seakan berbunyi di siang bolong. Kurasakan seekor kucing garong telah memakan sebelah hatiku.