Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Tanah

23 April 2019   14:01 Diperbarui: 23 April 2019   14:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu liburan sekolah tiba, dan keluarga istriku ada yang mengadakan pesta perkawinan di tanah Jawa, aku dan keluarga pun boyongan ke sana. Kupikir itu pilihan terbaik ketimbang risau terus memikirkan Mas Piyan.

Hampir dua minggu di tanah Jawa, kami kemudian pulang ke rumah. Selain liburan sekolah telah usai, sepertinya tak enak merepotkan mertua terus. Perjalanan dari tanah Jawa menuju pulau Sumatera, pikiranku kembali risau. Surat tanah pasti sudah digadaikan Mas Piyan. Dia akan membayar hutangnya, lalu berfoya-foya. Selepas itu apalagi? Aku yakin bila telah kehabisan uang, dia tetap tak kehabisan akal merongrong Ibu agar menjual apa saja yang bisa dijual. Termasuk rumah peninggalan Ayah barangkali. Kalau itu yang dia minta, aku bertekad rela bertaruh nyawa mempertahankannya. Mas Piyan sudah keterlaluan. Sekali-sekali dia harus dilawan dan dikasih pelajaran.

"Mas tak ingin menjenguk Ibu? Hampir dua bulan lho, Mas!" Istriku menegurku ketika sedang melamun di kursi teras rumah. Telah satu hari kami kembali disibukkan rutinitas seperti biasanya. Dan kebencian tergadap Mas Piyan tetap mengganjal di kepala.

"Tak baik Mas memutuskan silaturrahmi," lanjutnya. Aku tersentak. Mas Piyan adalah saudara kandangku. Memutus silaturrahmi dengannya, sama saja aku memutus rahmat Allah SWT. Kalau aku tak bertegursapa dengannya, bagaimana aku bisa merubahnya sifatnya agar lebih baik? Kuputuskan segera menjenguk Ibu. Sekalian Mas Piyan bila dia sedang berbaik hati menerimaku.

Angin semilir petang menemaniku melewati perjalanan menuju kampung tempatku lahir dan dibesarkan. Begitupun aku merasa tak senyaman angin semilir. Aku memang telah mencoba membunuh kebencianku terhadap Mas Piyan. Tapi sekuat apakah diri ini menaklukkannya? Aku manusia biasa yang hatinya bisa terluka. Mungkin kalau Mas Piyan bukan saudara kandungku, telah lama aku tak menggubrisnya lagi.

Hampir memasuki perkampungan, hatiku bertambah tak nyaman. Bahkan ketika melintasi tanah yang rencana mendiang Ayah akan diwakafkan, hatiku sebenar hancur luluh. Beberapa tukang sedang memasang pondasi sebuah bangunan di situ. Barangkali Juragan Saud---aku yakin Mas Piyan menjual tanah itu kepadanya---akan membuat rumah bedeng untuk dikontrakkan seperti usaha yang sudah lama dirintisnya.

Aku hampir melajukan sepeda. Namun sebuah panggilan dari seseorang yang bersuara khas, mengurungkan niatku melanjutkan perjalanan. Aku berbalik mendatangi orang itu dengan napas tersengal dan hati penuh tanda-tanya. Ketika dia menyelami dan langsung merangkulku, aku pun hanya bisa membalasnya dengan ragu-ragu.

"Pak Haji Maulud, kenapa ada di sini?" 

Dia tersenyum. "Kenapa ada di sini? Kau ini mengada-ada saja, Mirdin! Bukankah mendiang ayahmu telah mewakafkan tanah ini untuk dijadikan masjid?"

"Tapi?" Aku semakin bingung. Bukankah surat tanah sudah dirampas Mas Piyan dariku? Mustahil dia menyerahkannya kepada Haji Maulud. Bukankah dia hendak menjualnya kepada Juragan Saud untuk difoya-foyakan?

"Kenapa seperti kebingungan, Mirdin?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun