Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Tanah

23 April 2019   14:01 Diperbarui: 23 April 2019   14:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa hakmu menghentikanku?" Dia menodongkan parang ke dadaku. Orang-orang menjerit. Mereka mencoba melerai. Tapi melihat mata mengancam dari Mas Piyan, mereka memilih mematung kembali. Mereka tak ingin bernasib seperti batang-batang pisang itu.

Aku menatap Ibu. Dia pasti tak akan mengijinkanku menyerahkan surat tanah itu kepada Mas Piyan. Namun aku sama sekali tak memiliki pilihan lain. Biarlah mengalah. Biarlah Ibu marah. Biarlah mendiang ayah kecewa. Tanah bisa dibeli kembali. Hanya saja bila ada yang terluka atau mati oleh amukan Mas Piyan, pastilah akan lebih ruwet masalahnya.

"Baiklah, aku akan menyerahkan surat tanah itu kepadamu, Mas!"

Ibu menjerit, "Jangan, Mirdin!"

Mas Piyan menurunkan parang dari dadaku. Amukannya sedikit mereda. "Kau yakin ingin menyerahkannya kepadaku? Apa kau tak berbohong?"

"Apakah aku pernah berbohong kepada, Mas Piyan!" 

"Kalau begitu, kemarikan surat tanah itu!"

Aku mengangguk, dan buru-buru mengayuh sepeda pulang ke rumah. Tanya yang terlontar dari mulut istriku tentang kondisi Mas Piyan dan Ibu, kujawab dengan keluhan saja. Segera kubuka lemari. Kucari di lipatan celana di rak bagian bagian bawah. Nah, itu dia surat tanahnya! Celoteh istriku selanjutnya tentang surat tanah dan wakaf mendiang ayah, pun tak kugubris. Aku hanya mengatakan begini, "Aku tak ingin gara-gara surat tanah ini, Mas Piyan membunuh orang!" Istriku terdiam. Dia seperti orang kesambet menatapku pergi mengayuh sepeda dengan sangat kencang.

* * *

Setelah surat tanah itu di tangan Mas Piyan, aku merasa serba salah. Aku seperti dimata-matai mendiang Ayah dengan pandangan benci. Bahkan aku pernah sekali bermimpi bertemu mendiang Ayah. Dia tak berbicara, hanya menatapku tanpa ekspresi.

Kebencianku terhadap Mas Piyan semakin menggunung. Rasa benci itu membuatku memilih tak pulang ke rumah sekadar mengunjungi Ibu. Ya, hampir sebulan lebih setelah surat tanah dirampas oleh Mas Piyan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun