Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hantu Loteng

23 April 2019   08:30 Diperbarui: 23 April 2019   08:32 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deden mengangguk-angguk setuju. Namun saat pulang sekolah, dia ragu-ragu melakukan saran Hendri.  Kalau dia tidur sekamar lagi dengan Kak Rita, habislah dia diledek terus. Dia juga malu kepada Ayah. Sebenarnya Ayah belum cukup uang untuk membenahi kamar untuk Deden. Ayah berjanji kamar itu akan dibenahi saat tahun baru nanti. Tapi karena Deden merengek terus kepada Ibu, Ayah akhirnya meminjam uang di kantor untuk membeli cat dan peralatan tidur baru.

"Kok wajahmu pucat? Sakit, ya?" Ibu menyambut Deden di teras rumah. Deden menggeleng pelan. Tadi malam dia tidak bisa tidur nyenyak. Meskipun suara-suara aneh di loteng sudah hilang, dia tetap takut. Dia bermimpi buruk didatangi hantu.

Waktu berjalan cepat. Malam tiba. Deden belajar di kamar Kak Rita. Beruntung Kak Rita belum pulang dari kampus, jadi Deden tidak diledek habis-habisan. Ibu hanya melongok di pintu dan menyuruh Deden segera tidur. Jam dinding menunjukkan pukul delapan.

"Ya, Bu. Sebentar lagi. Nanggung!" kata Deden memberi alasan. 

Namun semakin malam, dia tidak memiliki alasan lagi. Mau menonton televisi, Ibu melarang. Rata-rata acara di televisi, khusus untuk orang dewasa. Ayah beberapa kali terbatuk. Itu pertanda Ayah akan marah kalau Deden tidak menuruti perintah Ibu.

Rasa takut semakin membuat Deden merinding. Dia masuk ke kamarnya. Sesekali dia melihat ke arah jendela. Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas. Lalu bunyi langkah kaki di loteng. Hantu itu datang lagi memperdengarkan suara tangisan.

Deden menghambur keluar kamar. Tapi dia menabrak Ayah sedang berdiri sambil melihat ke arah loteng. Kata Ayah, "Besok Ayah harus buat perangkap. Sudah dua malam musang itu mengganggu tidur kita."

"Suara ribut di atas langit-langit  itu musang ya, Yah?" tanya Deden. Ayah mengangguk. Deden tersipu malu. Suara musang dikira hantu.

--sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun