Deden menghembuskan napas lega. Akhirnya dia mempunyai kamar sendiri di tingkat dua rumahnya. Sebelumnya dia tidur sekamar dengan Kak Rita.Â
Malam ini tidak akan ada lagi keributan. Deden memiliki meja belajar sendiri. Lemari pakaian sendiri. Dipan, kasur dan bantal yang masih baru. Mungkin Kak Rita kesal Deden dibelikan perlengkapan kamar tidur yang baru. Jadi, tadi sore Kak Rita menakut-nakuti Deden, "Hii, tidur sendiri? Nggak takut diganggu hantu?"
Deden tertawa. "Kenapa meski takut. Herman, Hendri dan Aldi, juga tidur di kamar sendiri. Kak Rita pasti cemburu ya melihat kamarku yang bagus? Ayah janji akan membeli kipas angin khusus kamarku." Kak Rita cemberut dan masuk ke kamarnya.Â
Deden tidak sabar ingin merasakan tidur di kamar sendiri. Biasanya kalau belum mengantuk, dia selalu membaca buku cerita. Kali ini tidak lagi. Dia buru-buru mematikan lampu dan langsung rebahan di kasur sambil menarik selimut sebatas dada.Â
Tiba-tiba Deden tersentak. Dia melihat sekelebat bayangan di jendela. Bayangan apa itu? Bayangan itu lekas menghilang. Kemudian ada suara langkah di loteng. Lalu suara tangisan. "Haaantu!" desisnya. Dia cepat-cepat berlari ke ruang tamu. Kebetulan Ayah, Ibu dan Kak Rita sedang menonton televisi.
"Takuuut, ya! Makanya jangan sok-sokan ingin punya kamar sendiri." Kak Rita tertawa sambil menepuk-nepuk paha. Ibu melotot ke arah Kak Rita.Â
"Kebelet pipis, Kak. Mau ke kamar mandi dulu," kata Deden.
Pagi harinya, saat berangkat ke sekolah, Deden bercerita tentang masalah hantu itu kepada ketiga teman akrabnya
"Ah, mungkin kau terlalu takut saja, Den. Dulu saat punya kamar sendiri, aku juga mendengar suara aneh-aneh," kata Aldi.
"Dasar penakut, ya tetap penakut!" seloroh Herman. Deden merengut.
"Sudah, jangan diledek! Orang sedang kesusahan kok bukannya dibantu. " Hendri menepuk-nepuk bahu Deden. "Mungkin kau harus tidur sama Kak Rita lagi. Nanti kalau sudah berani, baru tidur di kamar sendiri."