Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ijah Sang Penari

20 April 2019   16:46 Diperbarui: 20 April 2019   16:50 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang berhenti berkelakar. Lelaki berkepala plontos yang menghadap ke utara, memirit kartu. Keningnya berlipat. Mungkin kartunya tak bagus. Dia pasti marah besar dan meledak. Dia bisa menghumbalangkan bangku warung yang menyempil di belakang pentas pertunjukan itu. Meskipun sekarang orang-orang tak serius bermain kartu---maksudnya tak berjudi---namun lelaki berkepala plontos itu selalu kesal apabila dikalahkan. Apalagi oleh anak buahnya. Sebagai ketua tari dan teater, dia harus menang di segala bidang. Berjudi, berseni (mungkin juga lomba jauh-jauhan ketika membuang air seni) bercinta, atau apalah yang bisa menyebabkan ada kalah maupun menang. 

"Eh, sudah hampir jam delapan! Penonton sudah ramai. Mereka ingn acara pagelaran tari dan teater dimulai." Maddin berusaha mengalihkan perhatian Sangkur---lelaki berkepala plontos itu---dari permainan kartu. Ternyata kata-katanya jitu. Sangkur segera menutup kartunya.

Tapi bukan karena merasa bertanggungjawab atas pagelaran tari  dan teater yang membuatnya berhenti bermain. Melainkan perasaan bergelora ingin ikut menonton yang memaksanya. Dia mengidamkan melihat penari barunya melenggang-lenggok di pentas. Dia tak ingin seorang pun berusaha mendekati perempuan sintal yang dipanggil Ijah itu. Meskipun seorang penari baru, namun banyak orang yang ingin menonton liuk-liuk tubuhnya. Termasuk Sangkur. Padahal dia selalu melihat Ijah dua minggu terakhir ini ketika latihan tari di sanggar.

"Baik! Permainan sementara dihentikan. Tapi kartu-kartu kita tetap dalam posisi tertutup. Nanti jika acara usai, kita lanjutkan. Pokoknya, aku tak ingin dikalahkan kalian," gerutu Sangkur sambil menaikkan sarung yang melilit pinggangnya. Dia berdiri diikuti rombongan. Masing-masing anak buahnya mengeluh kecewa. Mereka sudah merindukan bantal dan guling seusai pagelaran nanti. Bukan menemani lelaki berkepala plontos itu melanjutkan bermain kartu.

Bunyi alat musik tradisional mulai terdengar perlahan. Cahaya obor meliuk-liuk dilantak angin semilir, seolah ikut menari. Penonton merubung di dekat pentas. Mereka rela duduk bersila di atas tanah beralaskan koran.

Sangkur duduk di kursi rotan, di sebelah selatan pentas. Mataya celingak-celinguk mencari raut Ijah. Ah, dimana gerangan perempuan yang dikangeninya itu. Malam ini, seusai mentas, dia ingin mengajak Ijah berbincang serius. Dia ingin melamarnya dalam waktu dekat. Ya, tak apa-apalah. Menjadi istri ketiga Sangkur, tentu menjadi harapan kebanyakan perempuan penari (menurut Sangkur). Padahal kalau boleh berbicara jujur, tak seorang pun ingin menikah dengannya. Termasuk dua istrinya terdahulu. Mereka mau menikah dengannya, karena Sangkur seorang ketua tari dan teater. Sangkur orang berpunya. Berkulit badak dan tak tahu malu. Dia bisa berbuat sangat kasar kalau kemauannya tak dituruti.

Tatkala gong dipalu, barulah ekor mata Sangkur melihat Ijah datang dari kerumunan penonton. Dia bersama Cakil, lelaki pengurus perlengkapan musik (jongos pentas menurut Sangkur). Mereka kelihatan sedikit mesra, sehingga membuat darah Sangkur menggelegak.

Dia menyikut pinggang Maddin. "Kenapa Cakil datang bersama Ijah? Harusnya Cakil tetap di pentas mengurusi kelengkapan alat musik. Lagipula kalau perlu dijemput, aku bisa menjemput Ijah. Kenapa ini malah dijemput Cakil. Biasanya Ijah selalu datang bersama Aminah, kan?" cerocos Sangkur. Maddin langsung pucat. Dia tak bisa berbicara apa-apa. Ujung-ujungnya, dia hanya sanggup mengedikkan bahu.

Jadilah hati Sangkur panas. Pagelaran di pentas dan teriakan senang penonton tak lagi menyurutkan amarahnya. Sebentar-sebentar dia berdiri. Sebentar-sebentar ke belakang pentas. Menenggak minuman beralkohol tinggi dengan gerutuan panjang-pendek.

Usai pagelaran tari dan teater, dia mengamuk di belakang pentas. Dia mengatakan banyak kekurangan dari pagelaran itu. Tak menarik. Kedodoran. Dia juga mempermasalahkan keterlambatan Ijah. Menyalahkan Cakil yang tak mantap pada pekerjaan. Bukannya menjaga agar kondisi alat musik bagus, dia malahan sibuk bersenang-senang dengan Ijah. Sangkur menendang meja kecil di warung yang menyempil di belakang pentas. Kartu-kartu berhamburan. Orang-orang di sekelilingnya seperti terlempar ke belakang.

"Maaf, Mas." Ijah angkat bicara. "Aku yang meminta Cakil menjemput. Sebab dia pasti lebih lincah dan cepat karena mempunyai kendaraan."

"Mempunyai kendaraan? Dia hanya mempunyai motor butut! Tapi aku memiliki mobil yang lebih cepat larinya ketimbang miliknya." Sangkur berkacak pingggang. Udara malam yang dingin menjadi pengap. Panas menggerahkan.

"Kami pikir mas tak ingin diganggu dengan persoalan sepele seperti itu. Jadi, biarlah aku yang menjemput Ijah," jawab Cakil sambil tertunduk.

"Kami pikir! Kami pikir! Nomong, dong! Jangan memutuskan sepihak saja sebelum bertanya langsung kepada orangnya."

Semua terdiam. Akhirnya Sangkur mengajak Ijah pulang bersamanya setelah menampar Cakil di tempat sepi. 

Ijah hanya menggerutu dalam hati. Di dalam mobil Sangkur yang melaju pelan, dia tak banyak berbicara. Meskipun tadi lelaki berkepala plontos itu menampar Cakil di tempat sepi, namun Ijah sempat melihatnya.

Hatinya panas. Dia benci melihat perbuatan Sangkur yang arogan. Bisanya hanya main bentak. Main pukul. Main paksa. Apa seperti itu sifat pemimpin? Ijah heran, kenapa orang seperti dia masih diangkat sebagai ketua dalam waktu cukup lama. Hampir sebelas tahun. Kalau dalam pemerintahan, diperkirakan dia menjabat dua periode lebih.

Kenapa anak buahnya dari dulu tak mendobrak dan memilih pemimpin baru? Ah, Ijah ingat cerita Cakil beberapa minggu lalu, sebelum dirinya mantap terjun di grup tari dan teater pimpinan Sangkur.

"Dari dulu kita memiliki pemimpin yang sama bernama Sangkur. Orangnya kasar, Arogan. Tapi tak seorang pun yang mampu menggulingkannya. Dia orang kaya. Kalau tak tetap menempatkannya sebagai sang ketua, bisa-bisa grup kita bubar. Sangkur pasti marah besar. Lalu, siapa lagi yang sanggup mendanai pagelaran-pagelaran? Kalau dari tiket atau saweran penonton, pasti tak mencukupi. Jadi, kau harus menjaga sikap dengannya. Harus baik-baik."

Harus baik-baik? Uh, melihat kelakuan Sangkur barusan, Ijah malahan marah besar. Dia paling anti melihat orang arogan. Itu pulalah yang menyebabkannya meminta cerai dari Latief, mantan suaminya, beberapa tahun lalu. Dia tak betah dianggap hanya sebagai jongos yang rela dibentak-bentak.

"Besok-besok, aku akan menjemputmu terus," kata Sangkur di depan rumah kontrakan Ijah.

Ijah membisu. Ingin diludahinya wajah lelaki itu.

"Biarlah aku dijemput Cakil saja."

"Dia siapamu?"

"Pacarku!"

* * *

Rombongan tari dan teater pimpinan Sangkur tiba-tiba heboh. Di belakang pentas, tak jauh dari warung kecil yang menyempil itu, ditemukan sesosok mayat penuh luka bacokan. Sesosok mayat itu adalah Sangkur. Sang pemimpin yang arogan. 

Masing-masing langsung terkejut. Tapi tak lama. Selanjutnya wajah mereka tenang. Di mata mereka muncul kepuasan. Sepertinya mereka senang melihat ketua itu tewas mengenaskan. Kalau boleh ditanya satu per satu, sebenarnya banyak di antara mereka yang ingin berbuat kasar kepada Sangkur. Tapi takut. Selain seorang ketua dan orang kaya, dikabarkan Sangkur memiliki ilmu kebal. Sekarang dia terkapar. Siapa orang pemberani yang sanggup membunuh lelaki itu?

"Kematian Sangkur berarti kematian grup kita," keluh Maddin setelah polisi membaya mayat Sangkur.

"Belum tentu. Sebaliknya ini adalah masa kebangkitan kita." Sekonyong Ijah muncul. Dia tersenyum penuh kemenangan.

"Masa kebangkitan? Ah, jangan mengaco! Darimana dana kita melanjutkan hidup grup ini?"

"Aku yang melanjutkan! Aku yang memimpin grup ini," jawabnya tenang. Lalu dia pergi bersama Cakil. Orang-orang di sekitar itu pun bengong.

Sementara Ijah tertawa puas di dalam hati. Pertama, karena sebentar lagi dia akan menjadi pemimpin sebuah grup tari dan teater yang besar. Kedua, ssst, bahwa sebenarnya dia telah berhasil membunuh Sangkur, meskipun dibantu oleh Cakil. Artinya, pemimpin yang arogan itu telah lenyap. Ketiga, ahhh! 

Ijah tak ingat apa-apa lagi. Tiba-tiba seseorang telah menubruk dan menusuk jantungnya dengan pisau. Sedangkan Cakil sekonyong telah tewas bersimbah darah. Dalam regangan nyawa, Ijah melihat orang yang menusuknya adalah Sangkur.

"Kau?"

"Ya, aku masih hidup! Percuma kau membunuhku. Aku memiliki ilmu rawa rontek. Hahaha!"

Ijah tersentak! Dia terbangun dari mimpi panjang. Tubuhnya bersimbah keringat. Di sebelahnya tertidur dengan dengkur halus seorang lelaki. Dia adalah Sangkur. Lelaki yang menjadi suaminya seminggu ini. Lelaki yang di dalam mimpi-mimpinya berhasil dia bunuh. Tapi selalu di dalam mimpi. Bukan di dunia nyata. Ijah sang penari itu harus takluk kepada seorang lelaki jelek yang beristri dua.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun