"Ya, setelah adikmu setuju-setuju saja dengan rencanaku itu, sekalian saja aku ingin bertemu kau, Mul. Kebetulan aku ada tujuan ke Jakarta, membeli truk-truk bekas seorang rekan bisnis. Kuharap kau mau menjualkan kebun itu, setidak-tidaknya kau pikirkan ini untuk keperluan ibadah."
Kuremas-remas jemari tangan. Aku merasa berdosa karena berprasangka buruk kepada Ir. Memang tampilannya saja yang seadanya, tapi kehidupan dan cara berpikir Ir sudah lebih maju dariku. Coba, dia tahan membeli kebun pala itu demi kenyamanan orang untuk beribadah. Berarti dia bukan hanya kaya harta, tapi juga kaya hati.
"Kalau kau bersedia juga, sekalian saja ikut aku pulang kampung. Kutahu dari Mirsan kalau kau seorang tukang. Maksudku, saat pembangunan masjid itu, kau akan menjadi mandor. Perkara tempat tinggal, kau boleh memilih salah satu bedeng sewaanku. Bagaimana?" Dia menatapku ragu-ragu.Â
Bunyi klakson mobil, membuyarkan perbincangan kami. Kulihat Mirsan turun dari mobil super mewah. Beberapa tetangga yang melintas di jalan, berhenti dan terpelongo.Â
"Itu pun kalau kau setuju," kata Ir lagi. "Pikirkanlah, besok kutunggu jawabanmu. Sekarang aku pulang dulu."
Mendengar suara klakson mobil, istriku menghambur dari dapur. Dia terkagum-kagum melihat mobil mewah itu.
"Mobilmu, Ir?" tanyaku malu-malu.
"Hanya titipan Allah. Tadi, Mirsan memakainya untuk mengangkut barang-barang belanjaan dari pasar. Jadi, aku ke rumahmu naik becak saja." Dia tersenyum samar.Â
Sebelum tangan Ir menjangkau pintu mobil, buru-buru aku menghentikan langkahnya. "Aku setuju menjual kebun pala itu, termasuk bila kau memang ingin memboyong keluargaku pulang kampung."
Ir buru-buru memelukku erat-erat.Â
Maafkan aku telah berprasangka buruk kepadamu, Ir. Ternyata tamu memanglah raja. Raja yang menjadi perantara rejeki dari Allah.