"Iya!"
"Tapi saya mau....."
"Ayo, pergi sana! Mengganggu kenyamanan saja."
Meskipun sering diundang sebagai pembicara di bebarapa seminar, dan menjadi guru besar tetap di sebuah universitas terkemuka, wajah Mang Ucin memang kurang familiar bagi masyarakat sekotanya. Kecuali tentu dengan mahasiswa, dosen, segelintir peserta seminar dan mayoritas orang-orang pasar yang rata-rata kere.Â
Seumur-umur, Mang Ucin memang tak pernah mau difoto, apalagi nampang di media massa. Dia tak mau terkenal. Dia hanya ingin memanfaatkan ilmunya kepada masyarakat, bukan menjual tampangnya. Tampang Mang Ucin hanya milik Solmiah seorang. Solmiah itu nama istri Mang Ucin. Itulah mengapa tiga petugas keamanan itu tak mengenalnya.
Alhasil, dengan perut yang lapar, Mang Ucin pergi meninggalkan hotel. Dia memilih memesan bakso di pengkolan jalan.
"Nah, akhirnya balek lagi kan, Pak! Sudah kubilang kalau jalan kaki itu membuat lapar." Tawa tukang bakso berderai. Mang Ucin memesan bakso yang pedas satu mangkok. Puas rasanya menyudahi rasa lapar. Lupa pulalah dia tentang tiga petugas keamanan tadi, juga seminar.
Sementara di ruang seminar, panitia kelabakan. Para peserta sudah gaduh menunggu kemunculan Mang Ucin. Mereka bosan mendengar suara musik melulu, disuguhi snack terus sampai perut kencang.
Ketua panitia mencoba menelepon ke ponsel Mang Ucin. Tapi Solmiah yang menyambut, dan mengatakan kalau suaminya sudah lama berangkat ke tempat seminar. Ketua panitia buru-buru keluar dari hotel. Dia bertanya kepada tiga petugas keamanan tentang keberadaan sang pembicara seminar. Tapi ketiganya menggeleng tegas. Dalam bayangan mereka, pembicara seminar itu, bertampilan mewah. Memakai jas, berkaca mata, kepala botak dan wajah terang.
Ketua panitia iseng-iseng berjalan ke trotoar. Dia akhirnya melihat Mang Ucin menyantap bakso di pengkolan jalan. Seolah dia merasa memeroleh durian runtuh. Dia bergegas menemui Mang Ucin. Dia cepat-cepat mengajak Mang Ucin menuju hotel.
"Lho, bayarannya gimana?" tanya tukang bakso.