Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ucin Mar Ucin

16 April 2019   16:29 Diperbarui: 16 April 2019   17:10 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Tak ada yang menarik dari tampilan lelaki itu. Apalagi sekadar nama; Mang Ucin! Kendati nama aslinya Ucin Mar Ucin, dengan penambahan kata haji di depan nama itu, tapi dia lebih sreg dipanggil Mang Ucin. Seperti nama tukang becak atau bakso saja! Tak hanya teman-temannya yang memerotes. Terlebih-lebih anak istrinya.

Tapi itulah sejatinya seorang Mang Ucin. Meskipun dia telah tiga kali naik haji, tiga kali kuliah untuk mendapatkan gelar S3, bahkan digelar profesor, pun tampilannya tak berubah. Pakaian seperti biasa. Kerap memakai gamis, bertopi haji dan sendal jepit. Terkadang kalau ke acara resmi saja dia mengenakan sendal buatan pinggir pasar. Sendal berbahan karet bekas bas mobil. Katanya lebih nyaman dipakai. Lebih bandel dipergunakan kemana saja, baik untuk kondisi basah maupun kering. Ya, persis tank amfibi!

"Hidup ini yang wajar-wajar saja. Tak penting tampilan luar. Yang penting ini," dia menunjuk ulu hatinya, pertanda ingin mengatakan nurani, "kemudian ini," sambungnya sambil menunjuk kepala, pertanda ingin mengatakan otak. Itulah senjata andalan Mang Ucin begitu mulut istrinya cerewet mempermasalahkan tampilan, semisal ketika mereka akan pergi kondangan. Atau sekali waktu menghadiri acara seminar di hotel terkenal. 

"Seperti Abunawas saja!" Itu pula yang diucapkan istri Mang Ucin sebagai balasan.

Pernah suatu kali Mang Ucin menjadi pembicara tunggal di sebuah seminar ekonomi. Jauh-jauh hari panitia sudah meneken kontrak dengannya. Bahkan beberapa hari sebelum hari "H", seorang panitia menelepon Mang Ucin. Dia berjanji menjemput profesor itu dengan mobil super lux. Tapi dasar Mang Ucin, bukannya setuju, dia malahan memilih jalan kaki saja. Tak tanggung-tanggung, jarak yang harus ditempuh hampir tiga kilometer.

"Bagaimana sih Bapak ini, ditawari yang enak, kok memilih jalan kaki. Apa Ibu saja yang ngantar?" celoteh istrinya.

Mang Ucin tetap menolak. Baginya ada dua keuntungan jalan kaki. Pertama, sebagai olah raga ringan yang murah meriah. Kedua, membuat kepalanya berkeringat, hingga otaknya encer ketika berbicara di depan publik seminar.

Mang Ucin kemudian tiba di hotel berbintang lima, lokasi seminar itu. Tiga petugas keamanan menyetopnya persis di depan pintu masuk. Tampilan Mang Ucin yang tak meyakinkan, dengan pakaian gamis buram sebab diterpa debu selama berjalan kaki, menimbulkan kecurigaan tiga petugas keamanan itu. Belum lagi jenggot panjangnya, wajah hitamnya, rambut di kepalanya yang lebat dan memutih, bukan pertanda dia orang hebat apalagi orang pintar. Malahan dikira teroris, atau bisa jadi kurang waras.

"Saya mau ke dalam. Ke tempat seminar," kata Mang Ucin sebelum mereka bertanya.

"Undangan mana? Mau ikut seminar harus bawa undangan. Harus bayar voucher dulu!" sentak petugas keamanan berkumis tebal.

"O,  pakai undangan juga?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun