Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Sembilu

16 April 2019   11:57 Diperbarui: 16 April 2019   12:04 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang perempuan manis yang menawarkan agar aku singgah di gerainya, membuatku memilih melupakan lelaki itu. Kumasukkan pemberiannya ke dalam saku jaket. Muat, karena ukuran benda itu hanya segenggaman. Pikirku sebentuk cincin. Ah, lupakan! Mungkin orang tadi kurang waras. Biarlah bila nanti aku ingin membuangnya, kubuang saja ke tong sampah.

Segelas jus terong Belanda dan sepinggan salad, membunuh risauku. Mir memang sudah memaksaku cepat pulang ke Medan, setelah masa liburanku terlewat sehari. Kukatakan masa di penghujung liburan susah sekali mendapat tiket pesawat. Tapi dia tak perduli. Lalu, bla-bla-bla, dia mengocehkan tentang si kecil Fik yang selalu mengigau menyebut namaku. Si sulung Bob ngotot tak mau sekolah kalau harus diantar Mir yang selalu sibuk dengan gadgetnya. Dan seperti biasa Bob terlambat beberapa menit tiba di sekolah. 

Ach, namanya keluarga. Bagaimanapun, menjalaninya sangat indah. Meski sering cekcok dan semua selalu bergerak terburu, tapi itulah seninya. Itulah bunga-bunga, seperti yang tak pernah kurasakan ketika masih bersama Sofran.

Malas sebenarnya aku membicarakan hubunganku dengannya. Kendati kami pernah berumah tangga tak lebih tiga tahun, tapi perpisahan kami selalu membuatku menyesal. Aku yang lebih dulu meributkan masalah mandul dan kandungan. Sofran hanya tertunduk karena vonis yang kujatuhkan telah disahkan dokter Karmila. Suamiku itu memang mandul. 

Sebetulnya aku sekadar gatal mulut saja. Sayang sekali, Sofran seperti merasa tergores sembilu. Lukanya tak terlalu dalam. Hanya perihnya yang tak tertahankan. Itulah yang membuatnya mengajukan niat bercerai denganku.

"Segitunya?" kataku saat itu.

"Apalagi yang harus ditunggu? Aku mandul. Sampai kapan pun, aku tak akan bisa memberimu anak. Jadi, sebelum kehidupan kita semakin kacau-balau, biarlah kita bercerai."

"Sofran! Aku..."

Hakim di pengadilan agama akhirnya membubarkan semuanya. Aku yang masih tak terima dengan segala rencana yang terburu itu, hanya bisa memendam kesal. Harusnya aku tak terpengaruh oleh desakan Ibu dan Bapak tentang cucu. Harusnya aku tak iri dengn Incha adikku, yang baru enam bulan menikah, sudah hamil anak pertama. Harusnya.... 

Kuraih benda pemberian lelaki itu dari saku jaket. Kubuka pelan-pelan. Ach, sebuah foto, lebih tepatnya pasfoto seorang gadis mungil yang sangat manis. Di belakang foto itu kutemukan tulisan yang mirip tulisan Sofran. Aini binti Sofran. Ternyata aku tak mandul, Yus! Begitu bunyinya.

Aku tersentak. Buru-buru aku membayar semua yang masuk ke perutku kepada perempuan manis itu. Jeritan seseorang dari ruang tunggu pesawat, telah membuat jantungku degap-degup. Seseorang memanggilku. Mungkin agak marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun