Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku

10 April 2019   16:45 Diperbarui: 10 April 2019   17:01 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Pisau itu berkilau diterpa cahaya matahari yang menyelinap di antara jeruji  jendela. Geraknya pelan mengiris daging mangga. Seperti menciptakan perih menyayat hati. Sebentar kulihat lemari, kemudian dinding yang catnya lebih banyak mengelupas, kemudian gadis kecil di sudut. Dia tegak berdiri seperti patung. Badannya menghadap dinding. Kepalanya terkulai.

Aku tak menyangka semua berakhir begini. Dulu, saat gadis kecil itu berusia hampir tiga tahun, perasaanku selalu tak nyaman. Seusia itu dia belum bisa berbicara. Saran Bik Jah---tentu saja bagiku sangat tak masuk akal---lidah gadis kecil itu dioleskan apa saja yang mengandung emas. Ajaibnya, setelah kuoleskan cincin emas di lidahnya, langsung ada cucakrawa di rumah. Aku tersenyum kesenangan sambil melompat-lompat. Anakku akhirnya bisa berbicara!

Tapi bukan berbicara seperti belakangan hari ini yang kuharapkan. Di usia lima tahun, mulutnya menjadi tong sampah. Bila marah, bermacam nama binatang dia sebutkan. Hingga siang ini, maaf, kata "perek" membuat darahku naik ke ubun. Persiapan beberapa batang cabe di kulkas, hampir kujadikan umpan mulutnya. Tapi mengingat lima hari lalu dia harus dibawa ke puskesmas tersebab sakit perut setelah mulutnya dijejali batang cabe, pilihan terakhir adalah membuat dirinya menjadi tahanan sudut ruangan. Hampir satu jam dia menjelma patung di situ. Kubayangkan matanya berkunang-kunang. Kurasakan telapak kakinya gamang, dan keringat membanjiri tubuhnya.

Aku ingin membebaskannya. Biarlah dia ikut duduk di meja makan sambil melahap buah mangga. Sebaliknya, aku juga ingin dia mengerti apa arti kata-kata kotor. Apa akibatnya jika mengeluarkannya dari mulut mungilnya. Biarlah dia merasakan hukuman, dan bertobat tak mengumpankan kata-kata yang menyakitkan itu. 

* * *

Aku ngeri melihatnya marah. Bahkan saat tak marah sekalipun. Untuk memanggilnya Mama, mulutku terasa berat. Sudah beberapa kali dia menghukumku. Melumurkan batangan cabe ke mulutku. Rasanya panas seperti api. Perutku mulas, mencret-mencret dan harus berobat ke puskesmas. 

Kali ini mataku sudah berkunang-kunang. Tapi hukuman berdiri tegak menghadap dinding belum usai. Ekor mataku menangkap kilauan pisau itu. Aku takut suatu ketika amarahnya tak tertahan, lalu mengarahkan mata pisau ke wajahku. Menyayat sebagan kulit atau malahan menusukku. Aku ingat bayi yang tergolek di pinggir sungai beberapa hari lalu. Bayi itu mati dan badannya gembung. Kata ibu-ibu tetangga, bayi itu mati oleh tangan ibunya sendiri. Apakah dia akan berbuat seperti itu kepadaku?

Mulutku memang jahat. Mulutku suka mengeluarkan kata-kata kotor. Tapi aku belajar dari mereka. Setiap kali dia dan Papa bertengkar, selalu bersuara keras. Kata-kata kotor berlompatan dari mulut mereka. Dia pernah menghempaskan sebaskom piring saking marahnya. Hasilnya piring di rumah tinggal lima. Bila Papa tak ada di rumah, dia juga suka mengomel. Mengumpat-umpat. Entah apa yang diumpatin. Acara di tivi juga diumpatin. 

Belakangan aku tahu, dia benci Papa. Sangat benci Papa. Perkaranya karena dia berkali-kali menemukan baju Papa kotor. Katanya itu bekas lipstik perempuan. Belakangan mereka berpisah. Papa entah pergi ke mana. Dan setiap hari aku kerap mendengar perempuan itu mengumpat. Apakah aku salah mencontohnya? Kenapa dia boleh mengungkapkan kata-kata kotor, sedangkan aku tak? 

* * *

Gadis kecilku tetap patuh mematung. Atau, apakah dia sudah menjadi patung? Kulihat jam dinding, dan langsung berteriak. Hampir pukul enam sore. Cahaya matahari tak lagi sanggup menerabas jeruji jendela. Berarti hampir tiga jam gadis itu berdiri di sana. 

Aku tiba-tiba merasa berdosa. Segera kucampakkan pisau ke lantai. Tak sengaja aku menyenggol piring di atas meja. Seluruh mangga yang telah kubelah-belah dagingnya, menghambur ke lantai. Kutepuk bahu gadis itu pelan. Dia bergeming. Mungkin masih marah. Emosiku terlecut, menyebabkan tanganku menepuk bahu itu lebih keras.

Akhirnya dia menoleh. Kutanya apakah dia mau makan, hanya anggukan yang kuterima. Kami kemudian duduk berdua menghadapi hidangan dingin di atas meja. Dia tetap diam. Begitu  piringnya telah penuh nasi dan cukup lauk, dia pun makan. Aku melihat matanya, nyaris tak ada linangan air. Tak ada kesedihan menyayat selain geram. Aku mengajaknya berbicara, dia seolah tak mendengar. Suara kutinggikan, membuatnya mengkerut. Dia membuka mulutnya, dan aku tak menemukan lagi sepotong lidah di situ.

Aku menjerit keras. Wajahku berlepotan cairan daging mangga. Ternyata aku hanya bermimpi. Aku tak sadar tertidur dan menempelkan kepala di piring tumpukan daging mangga yang telah kubelah-belah tadi. Di sudut ruangan gadis itu tak lagi berdiri. Dia tergolek tak berdaya. Kudekati dia. Kubuka mulutnya. Ternyata lidahnya masih ada. Tapi badannya panas, nyaris seperti bara.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun