Aku tiba-tiba merasa berdosa. Segera kucampakkan pisau ke lantai. Tak sengaja aku menyenggol piring di atas meja. Seluruh mangga yang telah kubelah-belah dagingnya, menghambur ke lantai. Kutepuk bahu gadis itu pelan. Dia bergeming. Mungkin masih marah. Emosiku terlecut, menyebabkan tanganku menepuk bahu itu lebih keras.
Akhirnya dia menoleh. Kutanya apakah dia mau makan, hanya anggukan yang kuterima. Kami kemudian duduk berdua menghadapi hidangan dingin di atas meja. Dia tetap diam. Begitu  piringnya telah penuh nasi dan cukup lauk, dia pun makan. Aku melihat matanya, nyaris tak ada linangan air. Tak ada kesedihan menyayat selain geram. Aku mengajaknya berbicara, dia seolah tak mendengar. Suara kutinggikan, membuatnya mengkerut. Dia membuka mulutnya, dan aku tak menemukan lagi sepotong lidah di situ.
Aku menjerit keras. Wajahku berlepotan cairan daging mangga. Ternyata aku hanya bermimpi. Aku tak sadar tertidur dan menempelkan kepala di piring tumpukan daging mangga yang telah kubelah-belah tadi. Di sudut ruangan gadis itu tak lagi berdiri. Dia tergolek tak berdaya. Kudekati dia. Kubuka mulutnya. Ternyata lidahnya masih ada. Tapi badannya panas, nyaris seperti bara.
---sekian---