Saya ragu-ragu mempraktekkan saran Bu Mala. Saya mencoba ikut masyuk ke dalam igauan Yenny. Tapi mana mungkin? Saya terburu mengirim pesan lewat ponsel kepada Bu Mala, bahwa saya tak bisa memasuki alam mimpi Yenny. Perempuan itu tertawa geli (dengan menuliskan he3x). Kalau memasuki dunia mimpinya pasti anda tak bisa, Pak Haris! Ada-ada saja! Dia tertawa lagi. Tertawa lebih keras (dengan menuliskan he3x).
Besoknya, karena pekerjaan di kantor tak ada yang terlalu mendesak, saya mengambil ijin kerja satu hari saja. Saya bermain dengan Yenny. Ke mana pun dia pergi, saya mengikutinya. Ketika dia berangkat ke sekolah, saya menunggu seperti orang gila di depan televisi. Bik Onah berulangkali mencari-cari perhatian sambil hilir-mudik di belakang saya. Disusul Pak Otman. Saya toh tak perduli!
Saat yenny pulang sekolah, saya bukan main girangnya. Saya ingin buru-buru masuk ke dunia khayal Yenny. Saya ingin ketika dia lengah, saya akan membawanya ke dunia nyata.
"Kita hari ini bermain bersama Indah ya, Pa!" ucap Yenny takjub. Dia tak menyangka saya begitu drastis berubah. Sejak kapan papa tertarik dengan duniaku? Mungkin itu yang terbetik di benaknya.
"Indah cantik, ya?"
"Cantik! Tahi lalatnya mirip tahi lalat mama." Dia tertawa. Dia mengajak saya bermain-main bersama Indah di kebun belakang. Apalagi kalau bukan hendak berenang. Dan saya benar-benar harus menjadi anak-anak yang bodoh bergulingan bersama Yenny di dalam lumpur. Untung pagar rumah tinggi sampai tiga meter, jadi orang-orang di luar sana tak melihat dan mengira saya gila. Hanya Bik Onah yang mencoba menyadarkan saya dengan memercikkan air ke muka saya dari kobokan yang mungkin telah dijampi-jampinya. Hasilnya saya marah besar dan mengusirnya. Pak Otman berbuat serupa. Tapi akhirnya lari tunggang-langgang karena takut saya lempari lumpur. Begitu kedua pengganggu itu mencoba lagi menyadarkan saya yang sebenar-benar sadar, saya mengeluarkan jurus terakhir. Saya mengancam akan memecat mereka jika mengganggu kegiatan saya bersama Yenny. Dan mereka pun tak muncul-muncul lagi.
Aneh sekali, tiba-tiba saya merasa hidup di dalam dunia Yenny. Saya seakan merasakan gairah dari seorang Indah. Bahkan ketika malam harinya kami bermain petak-umpet dengan Ila dan Igor---minus Indah---saya bagaikan menyadari empat pasang mata mistis mengamat-amati saya.
Begitulah hari berganti hari, saya semakin terjebak di dalam dunia khayal Yenny. Hingga tiga hari saya tak masuk kerja. Dua hari memilih ijin dan sehari membolos. Pak Otman kasihan. Dia mencoba mengingatkan saya bahwa beras dan bahan lauk-pauk di dapur sudah habis. Apakah tak perlu ke super market.
Saya kelabakan. Saya merasa ditarik kembali ke dunia nyata. Saya sadar cara yang saya terapkan sampai tiga hari berselang, hanya membuat suasana semakin runyam. Maka pilihan terakhir adalah menekan tuts telepon dan menyapa seseorang.
"Apakabar, Aisyah?" sapa saya.
Suara di seberang menjawab dengan bergetar, "Baik...." Tapi dia berusaha menyembunyikan getaran itu dengan mendengus kesal.