Perkara Pak Kuranji menggali beberapa lubang di belakang rumahnya, kami sebenarnya  tak ambil pusing. Siapa saja boleh melakukan itu. Bisa jadi Pak Kuranji sedang ingin menanam pohon. Â
Tetapi sebulan berlalu, timbul juga kecurigaan kami. Pak Kuranji tak melakukan apa-apa terhadap lubang-lubang itu. Dia tak menyemai benih. Lubang terbiar seperti nganga menunggu mangsa.
"Apa guna dia melakukan itu?"Â
Kami merasa resah. Kami mengadu kepada tetua kampung perkara Pak Kuranji. Sekarang ini apa-apa yang aneh, selalu menimbulkan syakwasangka.Â
"Kenapa harus resah? Bisa jadi dia hendak menanam pohon!" Ki Marun, tetua kampung, membela laku Pak Kuranji.Â
"Menanam pohon? Lubang sudah banyak, tapi tak ditanami apa-apa, Ki!" kataku sambil menatap Yasin, meminta dukungan
"Benar, Ki. Kami curiga kalau-kalau dia hendak membalas dendam!" Paten kali si Yasin ini mendukungku.
"Apa hubungannya?"
"Ki Marun ingat siapa Pak Kuranji? Dia dan sanak saudaranya adalah orang yang dituduh tak bersih, karena menerima cangkul cap buaya. Itu lho, Ki, kejadian tahun '65."
Keluarga besar Pak Kuranji rata-rata petani. Dulu, saat ribut-ribut pembagian cangkul atau peralatan tani cap buaya oleh kelompok tertentu, hampir seluruh sanak saudara Pak Kuranji ikut mengambil. Dalam hati mereka, dikasih ya ambil. Bagi mereka tak ada keberpihakan atau pemahaman politik.Â
Namun setelah pembantaian tujuh jenderal, sanak saudara Pak Kuranji turut menjadi sasaran amarah. Mereka diberondong peluru di lapangan kampung bersama orang tak bersih lainnya. Pak Kuranji kali itu bisa selamat karena sedang berada di pulau lain, dan tak pulang kampung hingga tujuh tahun. Ketika suasana tenang, barulah dia ada di sini, di tanah peninggalan orangtuanya.