Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sumbangan Masjid

1 April 2019   16:43 Diperbarui: 1 April 2019   17:14 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita kedatangan artis Jakarta yang mantan orang kampung itu, membuat penduduk terhipnotis. Peserta rapat tak lagi para lelaki, melainkan ibu-ibu, gadis-gadis sampai anak-anak kecil yang riuh berdolanan di luar sana.

Haji Samaun tak banyak berbicara setelah rapat yang tak mengenakkan itu. Padahal dia ingin membatalkan seluruh rencana Pak Lubai dan Kartolo. Berhubung acara rapat dihadiri juga perwakilan dari pihak kecamatan, kedua lelaki bergelar haji itu tak bisa berkutik. Mereka takut nanti malahan dicap sebagai pembangkang. Pemberontak. Orang-orang yang tak setuju dengan program pemerintah.

* * *

Meski hati susah bukan kepalang, dan rasa berdosa membilur dada Haji Samaun, rencana yang mudharat itu terlaksanalah. Orang kampung bagaikan bah eksodus ke ibukota kecamatan. Sebagian membawa spanduk bertuliskan nama si arti ibukota. Bermacam-macam kata yang amat vulgar; Goyang Yahud.. Dari Grup Gelek. Tancap, Broo.. Dari Anak-anak Kolong. Ibu-ibu dari kampung, nih... Dan masih banyak lagi sehingga kepala Haji Samaun pusing tujuh keliling. Lebih pening lagi, karena konon seluruh anggota keluarganya ikut-ikutan seperti bebek digiring ke kota sana. Sempat juga dia menjegal niat istrinya. Tapi si istri yang lebih sering bawel ketimbang nurut itu dengan tegas menjawab, "Aku mau berjualan kacang tojin. Sambilan. Siapa tahu dapat rejeki banyak. Jadilah membeli jilbab seperti punya Lena."

"Yang norak itu? Tidak cocok! Bu, Ibu!" Haji Samaun menggelengeleng-geleng. Dia tak bisa berbuat banyak selain mengikuti arus yang menggila.

Begitulah, malam penggalangan dana berlangsung meriah. Pundi-pundi uang memenuhi kantong para panitia. Penonton berjubel, berdesak laki-perempuan. Bau keringat menyerbak. Acara sawer-saweran pun menjadi tumpuan kehendak para lelaki. Beruntung juga menyelipkan uang hasil panen ke sela dada si artis ibukota yang membusung. Beberapa mendapat sun sayang, sehingga para penonton itu merasa tersetrum.

Usai perhelatan memusingkan itu, terbuktilah bahwa rencana Pak Lubai berakhir sukses. Dana yang diperoleh tak hanya cukup menyokong setengah dari pembiayaan pembangunan masjid itu. Tapi nyaris keseluruhan, dengan menyisakan dana berlebih untuk mengisi kantong panitia yang kecapekan. Termasuk Pak Lubai dan Kartolo. Keduanya segera membeli pakaian baru di pasar mingguan ibukota kecamatan.

Hampir setahun setelah itu, masjid yang lumayan megah untuk ukuran kampung, pun berdiri. Pengguntingan pita dilakukan oleh pak camat, dibantu putri Pak Lubai yang seksi ndangdut itu. Dia datang langsung dari Jakarta. Haji Samaun sengaja tak menghadirinya dengan alasan diserang demam kuro. Kalau Haji Pardosi, entah. Haji Samaun kurang bergaul sekarang. Dia lebih banyak melakukan ibadah di rumah. Keluar dari pintu depan, hanya disambut riuh-rendah dosa yang timpa-menimpa.

Kejadian selanjutnya dapat ditebak. Masjid itu terbiar kedinginan. Azan hanya sekali-dua terdengar setiap hari. Hati Haji Samaun resah. Niatnya untuk memboikot masjid itu karena bermuasal  dari pekerjaan haram, pupus sudah. Dia kasihan, masjid bagus-bagus tak ada penghuninya. Jadilah dia dan Haji Pardosi, serta beberapa orangtua meramaikannya. Selebihnya, termasuk Kartolo, sibuk dengan grup-grup dandgut yang sekarang sering berlatih di kecamatan. Mereka semua berebut terkenal. Menjadi artis di Jakarta. Menjadi penggatal. Sedangkan petuah Haji Samauan dan Pardosi, usang sudah. Semua tersimpan rapi di dalam peti yang susah untuk dibuka. Sampai sekarang, atau nanti ketika Allah memutuskan apa yang perlu diputuskan.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun