Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sumbangan Masjid

1 April 2019   16:43 Diperbarui: 1 April 2019   17:14 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Haji Samaun memasuki langgar yang telah diisi oleh belasan lelaki yang menyenderkan punggung di dinding tepas. Kartolo, sang muazin, menghentikan kegiatannya menggaruk-garuk punggung. Dia takut melihat mata Haji Samaun. Pasti lelaki itu masih memendam amarah karena memergoki Kartolo mendekati Lena sepulang shalat isya semalam. Lena adalah putri sulung Haji Samaun. Perempuan itu baru mudik setelah hampir setahun berkutat di pesantren. Dia berwajah cantik. Pakaiannya selalu modis. Matanya berkaca-kaca pabila bersirobok dengan tatap setiap lelaki. Tapi dia langsung berpaling, kecuali bersitatap dengan Kartolo yang memang disukainya sejak kecil. Disukai, tapi entah sekarang dicintai tak tahu pasti.

Kartolo belum sempat menusukkan sengatnya, ketika Haji Samaun langsung menghardik. Dia menyuruh Lena pulang. Kartolo terpaksa mengekor sang haji, demi mempersiapkan rapat dadakan besok malamnya. Dan itu adalah malam ini.

Tapi Haji Samaun tak menunjukkan antipati. Dia duduk di sebelah Haji Pardosi tanpa sedikit pun menyinggung-nyinggung kejadian tadi malam. Setelah semuanya berdeham-dehem, seolah sedang terkena batuk kronis, Haji Samaun mematikan rokok daun nipahnya. Yang lain mengikut, termasuk Kartolo. Dia tengah asyik meresapi rokok putih oleh-oleh Pak Lubai, tauke karet di kampung itu. Lelaki itu baru kemarin pulang dari Jakarta. Dia menemui putrinya yang disebut-sebut orang penggatal. Entah kenapa begitu. Padahal Kartolo dan anak-anak muda lainnya, senang menontonnya menyanyikan lagu dangdut di televisi milik kepala kampung. Suaranya merdu, goyangnya yahud. Mungkin mereka seringkali mengingat saat-saat perempuan itu menjadi petembang kampung di acara tujuhbelasan. Namun keinginannya menanggap dangdutan di acara-acara lain, tak disetuji warga. Goyangannya mengotori mata, juga memabukkan kampung. Itulah maka dia minggat ke Jakarta dan menjadi tenar.

"Baiklah, bagaimana Ansyori, mengenai dana pemugaran langgar ini untuk dijadikan masjid, sudah dirancang? Atau ada ide dari bapak-bapak agar rencana kita berjalan sukses?"

Haji Pardosi mendehem, lalu berbicara hati-hati. "Sebetulnya sudah ada yang berniat turut membantu rencana kita. Mereka adalah kelompok pengajian Bapak Thalubi. Tapi saya terlebih dulu meminta tanggapan bapak-bapak sekalian."

Lelaki berjambang, dan memakai gamis yang sangat longgar, berkomentar, "Saya kurang setuju. Kita kan tak sefaham dengan mereka. Setiap kali acara tahlilan, mereka selalu tak datang. Mereka menganggap itu bukan Sunnah Nabi. Lebaran-lebaran tahun kemarin, mereka juga berseberangan. Saya tak ingin mereka ikut-ikutan shalat di tempat ini. Bisa-bisa shalat tarawih dikurangi rakaatnya."

"Tapi mereka kan tetap seagama dengan kita." Haji Samaun menanggapi. "Faham itu banyak ragamnya. Asal masih mengimani Allah SWT sebagai Tuhan mereka, serta Nabi Muhammad sebagai junjungan, saya rasa tak masalah. Lagipula mereka juga shalat, puasa dan membayar zakat. Intinya Rukun Iman dan Islam tiada dilanggar. Apa salahnya? Yang salah hanyalah mereka yang bengal dan tak mau menjalankan perintah Allah."

"Mungkin kami yang di sini bisa saja setuju. Tapi bagaimana dengan orang-orang di luar sana? Kelak mereka pasti enggan menjejakkan kaki ke tempat ini." Tak sadar, Kartolo menimpali. Haji Samaun mendelik seperti hendak menelan lelaki itu mentah-mentah. 

"Benar juga kata Dek Kartolo." Lelaki berjambang itu senang pendapatnya didukung Kartolo. Dia mengedip sekali, sementara Kartolo pura-pura menundukkan wajah. Dia takut telah menegah maksud Haji Samaun, yang tentu bisa membangunkan macan tidur. Kejadian semalam bisa diungkit-ungkitnya lagi.

"Sudahlah! Tak usah memperdebatkan yang tak berguna. Coba, ada inisiatif lain?" Haji Pardosi menengahi.

"Saya ada inisiatif. Inisiatif ini berasal dari orang yang sangat ingin membantu pembangunan masjid kita," ucap Kartolo bersemangat. Dia harus mengungkapkan ide-idenya kalau tak ingin rejekinya terputus di tengah jalan. Bisa tak mencicip rokok putih lagi dia. "Tadi pagi Pak Lubai mengatakan berniat membantu setengah dari biaya pembangunan masjid ini."

"Tak bisa!" Seseorang berpeci miring langsung menyalip. "Pak Lubai itu, selain tauke karet yang tak jujur, duitnya pasti dari anak perempuannya yang penggatal di Jakarta itu. Bisa hancur rencana kita. Masa' dananya dari jalan haram. Tidak, Tidak!"

Suara dengung serupa gempuran lebah, membuat langgar itu gaduh. Nyala api lampu teplok, meluik-liuk diterjang angin. Sebagian kecil dari peserta rapat menolak mentah-mentah rencana Kartolo dan ide si Lubai itu. Sisanya yang lebih besar, setuju. Mereka dari pihak yang lebih muda, dan tak ingin bersusah-payah mencari dana dari rumah ke rumah penduduk. Kalau ada yang langsung menimpa dengan uang besar, mendapatkan sisanya tentu lebih mudah.

Rapat kacau. Ketika nyala di teplok itu padam karena kehabisan minyak, semua bubar. Haji Samauan menggerutu. Ini semua gara-gara Kartolo. Mulutnya tak ber-rem. Ingin dia menggonyoh mulut lelaki itu dengan cobek yang berlumur cabe. Ingin dia menyentak nyali si Kartolo. Namun tak sanggup. Jauh-jauh hari dia sudah tahu Lena mencintai lelaki yang satu ini. Bila dibentak, dan Lena mengetahuinya, bisa berabe. Itu bisa dijadikan putri sulungnya alasaan untuk berhenti bersekolah di pesantren. Karena sejak dulu dia bercita-cita menjadi tukang salon seperti Martini yang bekerja di ibukota kecamatan. Martini selalu kelihatan cantik. Martini berlimpah uang. Bahkan dia banyak dikenal orang. Dari sepanjang kampung sampai ke ibukota kecamatan.

* * *

Haji Samaun mencangkung di pinggir kolam belakang rumahnya. Dia kasihan mengingat kondisi langgar yang hampir rubuh. Andaikan seluruh orang kampung mau menyumbangkan dananya, tentu tak sulit merubah langgar itu menjadi masjid. Tapi andai-andai itu sulit terwujud. Jangankan merubah langgar menjadi masjid, membenarkan dindingnya yang doyong, seorang pun enggan. Kalau tidak Haji Samaun berinisiatif  berjibaku membenarkannya bersama Haji Pardosi dan Kartolo. Pun untuk memasukkan aliran listrik tak ada niatan orang kampung sama sekali. Padahal listrik sudah hampir lima tahun masuk kampung, meski menyala di malam hari saja.

Memang memasukkan aliran listrik, tepatnya instalasinya, ada seorang dua yang bersedia membiayai. Tapi untuk membayar rekening bulanan, semua saling tuding. Termasuk Haji Samaun. Bedanya dia tak menuding orang lain, melainkan dia dituding sang istri karena tak ingin uang belanjaan disisihkan demi membayar rekening listrik langgar. Padahal jangankan Haji Samaun, rata-rata penduduk di kampung itu tak ada yang miskin sampai berkarat-karat. Semua memiliki pekerjaan yang menjanjikan. Menjadi petani, pemilik kebun karet, kayu manis, lada dan kopi, tauke, pemilik warung dan masih banyak yang lainnya. Intinya yang menjadi pengemis tak ada, terkecuali mereka yang merantau ke negeri orang dan menjadi orang-orang gagal.

* * *

Kekisruhan hati Haji Samaun semakin menjadi. Hampir seluruh peserta rapat kedua malam ini, terkecuali dia dan Haji Pardosi, menyetujui rencana gila Pak Lubai dan Kartolo. Kebetulan Pak Lubai hadir demi mewujudkan aspirasinya. Padahal seumur-umur, dia belum pernah mendatangi langgar. Kalau pun pernah, itu hanya melintas di teritisnya saja. Karena dia senang berburu langsung hasil karet dari kebun-kebun karet penduduk. Selain harganya murah, untuk mendapatkan karet yang murni lebih mungkin. Sebab bila ditunggu di depot karet, alhasil karet yang gendut dibalut airlah yang diperoleh. Mutunya jelek, dan lebih susah mengeringkannya. 

Haji Samaun manyun. Dia tak ingin berdebat, sampai akhirnya Pak Lubai berbicara, "Saya tahu di antara bapak-bapak ada yang tak setuju dengan niat baik saya. Padahal keinginan saya sangat kuat membantu pembangunan masjid ini." Dia menarik napas pelan. "Untuk menghindari anggapan bahwa sebagian besar sumbangan saya adalah dari hasil pekerjaan putri saya yang kata orang-orang penggatal di Jakarta, maka telah dirancang sebuah malam penggalangan dana. Saya dengan pihak kecamatan telah sepakat menanggap dangdutan semalam suntuk di lapangan bola ibukota kecamatan. Bapak-bapak tahu pedangdutnya, kan? Yang pasti anak-anak saya diiringi band terkenal dari Jakarta."

Lelaki berjambang yang kini mengenakan celana jins dan kaos longgar bertuliskan Devil Society, menyambung. "Kabarnya dari kecamatan-kecamatan lain datang berkunjung. Kapan lagi nama kampung kita tersohor. Bahkan dengan kesuksesan acara kelak, bapak camat bermaksud mengaspal jalan di kampung kita sampai ke langgar ini. Bukan begitu, Pak Lubai?"

Hati Haji Samaun dan Pardosi  meradang. Suara mereka pasti sangat kecil melawan peserta  rapat yang malam ini sangat banyak sehingga meluber ke halaman. 

Berita kedatangan artis Jakarta yang mantan orang kampung itu, membuat penduduk terhipnotis. Peserta rapat tak lagi para lelaki, melainkan ibu-ibu, gadis-gadis sampai anak-anak kecil yang riuh berdolanan di luar sana.

Haji Samaun tak banyak berbicara setelah rapat yang tak mengenakkan itu. Padahal dia ingin membatalkan seluruh rencana Pak Lubai dan Kartolo. Berhubung acara rapat dihadiri juga perwakilan dari pihak kecamatan, kedua lelaki bergelar haji itu tak bisa berkutik. Mereka takut nanti malahan dicap sebagai pembangkang. Pemberontak. Orang-orang yang tak setuju dengan program pemerintah.

* * *

Meski hati susah bukan kepalang, dan rasa berdosa membilur dada Haji Samaun, rencana yang mudharat itu terlaksanalah. Orang kampung bagaikan bah eksodus ke ibukota kecamatan. Sebagian membawa spanduk bertuliskan nama si arti ibukota. Bermacam-macam kata yang amat vulgar; Goyang Yahud.. Dari Grup Gelek. Tancap, Broo.. Dari Anak-anak Kolong. Ibu-ibu dari kampung, nih... Dan masih banyak lagi sehingga kepala Haji Samaun pusing tujuh keliling. Lebih pening lagi, karena konon seluruh anggota keluarganya ikut-ikutan seperti bebek digiring ke kota sana. Sempat juga dia menjegal niat istrinya. Tapi si istri yang lebih sering bawel ketimbang nurut itu dengan tegas menjawab, "Aku mau berjualan kacang tojin. Sambilan. Siapa tahu dapat rejeki banyak. Jadilah membeli jilbab seperti punya Lena."

"Yang norak itu? Tidak cocok! Bu, Ibu!" Haji Samaun menggelengeleng-geleng. Dia tak bisa berbuat banyak selain mengikuti arus yang menggila.

Begitulah, malam penggalangan dana berlangsung meriah. Pundi-pundi uang memenuhi kantong para panitia. Penonton berjubel, berdesak laki-perempuan. Bau keringat menyerbak. Acara sawer-saweran pun menjadi tumpuan kehendak para lelaki. Beruntung juga menyelipkan uang hasil panen ke sela dada si artis ibukota yang membusung. Beberapa mendapat sun sayang, sehingga para penonton itu merasa tersetrum.

Usai perhelatan memusingkan itu, terbuktilah bahwa rencana Pak Lubai berakhir sukses. Dana yang diperoleh tak hanya cukup menyokong setengah dari pembiayaan pembangunan masjid itu. Tapi nyaris keseluruhan, dengan menyisakan dana berlebih untuk mengisi kantong panitia yang kecapekan. Termasuk Pak Lubai dan Kartolo. Keduanya segera membeli pakaian baru di pasar mingguan ibukota kecamatan.

Hampir setahun setelah itu, masjid yang lumayan megah untuk ukuran kampung, pun berdiri. Pengguntingan pita dilakukan oleh pak camat, dibantu putri Pak Lubai yang seksi ndangdut itu. Dia datang langsung dari Jakarta. Haji Samaun sengaja tak menghadirinya dengan alasan diserang demam kuro. Kalau Haji Pardosi, entah. Haji Samaun kurang bergaul sekarang. Dia lebih banyak melakukan ibadah di rumah. Keluar dari pintu depan, hanya disambut riuh-rendah dosa yang timpa-menimpa.

Kejadian selanjutnya dapat ditebak. Masjid itu terbiar kedinginan. Azan hanya sekali-dua terdengar setiap hari. Hati Haji Samaun resah. Niatnya untuk memboikot masjid itu karena bermuasal  dari pekerjaan haram, pupus sudah. Dia kasihan, masjid bagus-bagus tak ada penghuninya. Jadilah dia dan Haji Pardosi, serta beberapa orangtua meramaikannya. Selebihnya, termasuk Kartolo, sibuk dengan grup-grup dandgut yang sekarang sering berlatih di kecamatan. Mereka semua berebut terkenal. Menjadi artis di Jakarta. Menjadi penggatal. Sedangkan petuah Haji Samauan dan Pardosi, usang sudah. Semua tersimpan rapi di dalam peti yang susah untuk dibuka. Sampai sekarang, atau nanti ketika Allah memutuskan apa yang perlu diputuskan.

---sekian---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun