Hatiku telah tersangkut di tingkap1) itu. Kepada seorang perempuan manis nun dari desa seberang. Setiap petang, setelah dia selalu hadir di tingkap itu, aku menyengaja membersihkan gulma di tebing-tebing tempat rimbunan kebun jeruk milik keluargaku.Â
Pekerjaan yang sesungguhnya paling anti kulakukan. Bahkan Ayah sampai berpayah-payah memintaku membersihkan gulma-gulma apabila menyemak dan mengganggu kesuburan pokok-pokok jeruk. Sekali lagi, sekarang tak lagi.
Baru lima hari perempuan itu senang berdiri di tingkap rumah di seberang kebun keluargaku. Seperti biasa dia seolah baru saja selesai keremas. Rambutnya yang legam teruntai, disisirnya dengan jemari tangan. Terkadang sekali waktu tatap kami bersirobok. Aku jengah. Dia seperti tak merasakan  apa-apa.Â
Mungkin Ayah curiga melihatku setiap petang selalu ke kebun jeruk. Alasanku selalu sama, hendak membersihkan gulma-gulma. Ayah yang pendiam---terutama setelah Ibu meninggal lima tahun lalu---membebaskanku pergi begitu saja.Â
Hanya tatap matanya bersinar karena mungkin merasa aku telah melakukan lompatan yang lumayan jauh. Dari seorang pemalas menjadi lelaki yang rajin.Â
Sebenarnya aku ingin sekali berkenalan dengannya. Maksudku dengan perempuan di tingkap itu. Siapa namanya. Sekolah di mana. Desanya di mana. Tapi buah ternyata jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku setali tiga uang dengan Ayah. Sama-sama pendiam.Â
Sama-sama pemalu. Mendiang Ibu pernah mengatakan bahwa mereka menikah atas rembukan orang tua. Kendati sebenarnya Ayah memendam cinta yang amat dalam kepada Ibu sejak keduanya remaja. Ayah baru berani mengungkapkan rasa cinta itu setelah mereka mencecap malam pertama yang malu-malu.
Terkadang aku berkhayal seandainya gulma-gulma itu melesat tumbuhnya, merimbun lagi setelah kusiangi. Dengan begitu aku tak malu memberi alasan kepada Ayah, pergi ke kebun sekadar membersihkan gulma-gulma. Tapi, bukankah untuk tumbuh dan menyemak, gulma-gulma itu butuh waktu beberapa hari?Â
Hingga di hari ketujuh, tak guna pula aku mengalaskan kepada Ayah akan membersihkan gulma di kebun. Itu sama sekali tak tepat. Gulma-gulma telah rata dengan tanah. Bila aku bersikeras membersihkan kebun, tentu saja aku hanya akan memapas tanah humus dan membiarkan tanah liat menganga di tebing-tebing itu.
"Alimin, pergilah dulu ke kebun. Nanti ambilkan jeruk yang hampir masak. Mamak As ingin mencicip sebarang-dua." Akhirnya Ayah memberikan kesempatan emas kepadaku. Tanpa diperintah dua kali, aku laksana terbang membawa bakul anyaman bambu.Â
Dari jauh aku sudah melihat daun-daun jeruk bergoyang tak sabar menunggu kedatanganku. Kemudian sekilas aku melihat tingkap rumah itu. Kosong! Ke manakah perempuan itu?
Aku menyabar-nyabarkan hati. Perempuan itu pasti tak selalu hendak tegak di tingkap, karena dia bukanlah pigura atau patung. Kalaupun manusia, dia mungkin gila berbetah-betah di situ. Beberapa hari berselang, sungguh dia memang hadir di sana setiap petang, menyisiri rambutnya.Â
Biasanya setelah aku sekejap-dua membersihkan gulma, barulah buah cintaku itu muncul menebarkan aroma kasih. Atau, pernah juga dia sudah ada di tingkap saat aku datang. Kemudian sebelum aku selesai dengan tugas-tugasku, dia sudah menghilang karena dipanggil seseorang atau demi mengerjakan sesuatu.
Malas-malasan kupetik buah jeruk yang hampir masak. Kulirik tingkap. Masih sepi. Hati ini risau. Bisa jadi dia sedang tertidur lelap. Lebih parah lagi, dia sudah pulang ke desanya nun di seberang. Bila itu yang terjadi, pantaslah aku merutuki diri sendiri.Â
Merutuki si pemalu yang bersemayam di hatiku. Bagaimana pun kesempatan langka lesap sudah. Padahal apabila aku bisa berdekatan dengannya, apalagi kami bisa menjalin keakraban, betapa megah rasanya dada ini.Â
Aku tak akan malu dengan teman satu kelas, bahwa aku juga mampu mendapatkan kekasih. Ya, sangat wajar menjelang lulus SMA, seorang lelaki seperti aku memiliki tambatan hati.
"Ehm, lagi memetik jeruk, ya?" sapaan itu seolah hembusan sejuk yang menerpa tengkukku. Naluriku berkata, ada seorang perempuan cantik tengah berdiri sekian langkah di belakangku.Â
Ya, bisa jadi tebakanku tentang perempuan cantik, mutlak karena aku sedang dirundung kasmaran. Mendengar suara ramah dan lembut perempuan, aku langsung bisa memperkirakan dia secantik suaranya.
Aku tersentak ketika membalikkan badan. Perempuan itu. Hei, perempuan tingkap! Apakah aku tak salah lihat? Meskipun kukucek mata, memastikan dia bukanlah sosok khayalan, senyum manisnya itu tetap nyata. "Boleh kita berkenalan?" Dia mengulurkan tangan. Aku buru-buru menampar-namparkan telapak tangan ke bokong. Lalu, kusalami dia.
Perempuan tingkap itu secantik namanya. Maisaroh. Kerling matanya sungguh membuatku gemetar.Â
"Kau pemuda yang rajin. Sudah beberapa petang ini aku melihatmu tanpa lelah membersihkan rumput di sini."
Aku tengadah melihat buah jeruk yang menguning di atas kepalaku. Sekadar meredakan degup di dada yang bergemuruh, aku memeitk jeruk itu. Meletakkannya sangat pelan ke dalam bakul.
"Ini memang keharusan. Hasil kebun inilah yang membuat kami bisa bertahan hidup. Hasil kebun ini yang membuatku masih bisa mencecap bangku sekolah hingga sekarang. Kenapa pula harus disia-siakan. Bila panen gagal, kami juga yang susah."Â
Aku terkejut. Bagaimana mungkin aku bisa berbicara panjang lebar begitu. Pipiku pasti bersemu merah. Maisaroh memetik sebuah jeruk yang sudah menguning di dekatnya.
"Kalau kau mau, ambillah satu."
Maisaroh menolak. Dia menggeleng sehingga rambutnya berkibar. Kuaromai bau khas shampo yang menggoda. Begitu dia memasukkan jeruk itu ke dalam bakul di tanganku, berhembus pula bau tubuhnya yang wangi.Â
Tak salah lagi, aku benar semaput cinta kepadanya. Aku berharap dari tingkah-lakunya, adalah pertanda dia siap menyambut cintaku, kapan pun aku sanggup mengutarakannya.
Begitulah, waktu bergulir seperti kincir angin. Pelan, kencang, pelan, kencang. Pada saat berdua dia, terasa waktu cepat berputar. Pada saat tak berdua dia, terasa waktu bergerak lamban. Cinta memang aneh, tapi asyik.Â
Entahlah.... Sampai sekarang aku belum mampu mengutarakan apa yang menggejolak di dada ini kepadanya. Aku hanya berprinsip bahwa tingkah-lakunya adalah bukti rasa cinta. Cinta terkadang tak perlu dipecahkan di mulut. Cinta bisa diresapi, dirasakan.
Pernah satu kali dia berkunjung ke rumahku, setelah hampir dua belas hari dia di sini. Rasanya jantungku langsung berkelojotan. Kendati senang, aku juga malu kepada Ayah. Aku takut Ayah tak menyetujui anaknya menjalin cinta kasih di usianya yang masih belia.Â
Ayah terlalu banyak berharap kepadaku. Dua abangku menikah muda sebelum menyelesaikan SMA. Hasilnya, penghidupan mereka senin-kamis. Meskipun mereka tak tinggal serumah dengan kami, toh berbilang kali keduanya merengek kepada Ayah. Tentang biaya ini-itu yang ujung-ujungnya hanya meminta hutangan.
Ayah kiranya telah begitu baik menerima Maisaroh. Bahkan ketika sengaja kubiarkan berdua, mereka terlihat cepat akrab. Percakapan mereka tak tersendat-sendat. Saat aku menanyakan pendapat Ayah tentang Maisaroh, Ayah mengatakan dia adalah sosok perempuan yang baik. Bahkan terang-terangan Ayah membuka pintu lebar-lebar setiap kali Maisaroh ingin berkunjung ke rumah kami.
Apalagi yang diragukan? Aku sangat mencintai Maisaroh. Masiaroh seperti menunjukkan kalau perasaan kami memang sama. Sementara Ayah telah menunjukkan sikap sebagai orang tua yang menerima apa adanya.Â
Toh tak salah rasanya aku buru-buru mengucapkan cinta kepada perempuan itu. Tak salah pula aku kelak berterus-terang kepada Ayah bahwa anaknya ini sudah memiliki kekasih.
Malam kelimabelas setelah Maisaroh bertandang di desa kami, maka sengaja aku mengenakan pakaian terbaikku. Sengaja sebelumnya aku berendam lama-lama di sungai untuk melepas daki-daki dan keringat yang bau.Â
Minyak urang-aring kukenakan sehingga rambut ini bercahaya. Sedikit parfum sinyongnyong yang kubeli di Pasar Jum'at, pun melengkapi penampilan yang wah.
"Mau ke mana, Parulian?" Ayah menyetop langkahku saat keluar dari kamar.
"Pak Kailani kan ada hajatan malam ini, Yah! Kabarnya di lapangan desa dia menggelar acara organ tunggal. Apalagi? Aku mau ke sana. Mumpung besok hari Minggu," kataku beralasan. Tak sabar rasanya aku bertemu Maisaroh. Mengenai acara organ tunggal, perduli amat!Â
"Duduklah sebentar di sini." Ayah duduk di kursi rotan ruang tamu. Sebatang sigaret dia selipkan di sela bibir.Â
Aku sebenarnya ingin menolak ajakan Ayah karena tak ingin terlambat menemui Maisaroh. Melihat sikapnya yang serius, perlahan aku duduk juga. Â "Ada apa, Yah!"
Dia seperti berat memulai pembicaraan. Setelah menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya seiring asap sigaret, barulah dia berkata, "Ayah senang kau sudah mulai akrab dengan Maisaroh." Jantungku berdetak keras.Â
Tanpa diminta, ternyata Ayah ingin mengungkapkan restunya atasku dan Maisaroh. Benar-benar jalan hidupku lempang sekarang ini. "Jadi Ayah tak perlu lagi mendekat-dekatkan kalian."
"Santai sajalah, Yah!" Aku tersipu. Ayah menatapku. Sangat serius.
"Itu artinya tak ada halangan lagi bagi Ayah untuk melamar Maisaroh..."
Aku terkesiap. Secepat itukah rencana Ayah menikahkan aku dengan Maisaroh? Hatiku terus-terang mekar. Tapi aku gamang dengan keputusan yang tiba-tiba ini, di usiaku yang masih belia.
Dia mendehem. "Ayah harap setelah dia tinggal serumah dengan kita, kau tetap berlaku baik kepadanya. Ayah sudah memutuskan jauh-jauh hari. Ayah sudah menyengaja menginapkannya di rumah si Sutan sementara waktu.Â
Ayah tak ingin buru-buru bertindak karena Ayah takut kau akan malu. Ya, tapi dengan kebersamaan kalian yang sudah berlangsung alami, tak ragu hati Ayah untuk menikahinya. Semoga kau menerimanya dengan lapang-dada. Dia calon ibumu. Dia....."
Kontan tubuhku menegang di kursi. Berarti selama ini?
Bukankah Maisaroh terlalu muda buat Ayah? Bukankah perempuan itu lebih cocok untukku? Ayah tak paham apa yang kumau! Kutatap mata Ayah. Kutatap mulutnya yang masih komat-kamit.Â
---sekian---
1) Jendela Rumah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H