Toh tak salah rasanya aku buru-buru mengucapkan cinta kepada perempuan itu. Tak salah pula aku kelak berterus-terang kepada Ayah bahwa anaknya ini sudah memiliki kekasih.
Malam kelimabelas setelah Maisaroh bertandang di desa kami, maka sengaja aku mengenakan pakaian terbaikku. Sengaja sebelumnya aku berendam lama-lama di sungai untuk melepas daki-daki dan keringat yang bau.Â
Minyak urang-aring kukenakan sehingga rambut ini bercahaya. Sedikit parfum sinyongnyong yang kubeli di Pasar Jum'at, pun melengkapi penampilan yang wah.
"Mau ke mana, Parulian?" Ayah menyetop langkahku saat keluar dari kamar.
"Pak Kailani kan ada hajatan malam ini, Yah! Kabarnya di lapangan desa dia menggelar acara organ tunggal. Apalagi? Aku mau ke sana. Mumpung besok hari Minggu," kataku beralasan. Tak sabar rasanya aku bertemu Maisaroh. Mengenai acara organ tunggal, perduli amat!Â
"Duduklah sebentar di sini." Ayah duduk di kursi rotan ruang tamu. Sebatang sigaret dia selipkan di sela bibir.Â
Aku sebenarnya ingin menolak ajakan Ayah karena tak ingin terlambat menemui Maisaroh. Melihat sikapnya yang serius, perlahan aku duduk juga. Â "Ada apa, Yah!"
Dia seperti berat memulai pembicaraan. Setelah menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya seiring asap sigaret, barulah dia berkata, "Ayah senang kau sudah mulai akrab dengan Maisaroh." Jantungku berdetak keras.Â
Tanpa diminta, ternyata Ayah ingin mengungkapkan restunya atasku dan Maisaroh. Benar-benar jalan hidupku lempang sekarang ini. "Jadi Ayah tak perlu lagi mendekat-dekatkan kalian."
"Santai sajalah, Yah!" Aku tersipu. Ayah menatapku. Sangat serius.
"Itu artinya tak ada halangan lagi bagi Ayah untuk melamar Maisaroh..."