Berbilang minggu berselang, aku mulai merasakan sikap Midah menjadi lain. Aku seakan terhinakan. Berkali-kali dia menyindirku sebagai pengangguran. Berkali-kali kami bertengkar, dan aku tetap menjadi yang kalah.
Terkadang terbersit tanya di hati, akankah ini pelabuhan cinta kami? Aku akan menurunkan jangkar, membiarkannya pergi mengarungi dunia daratan, sementara aku kembali melayari laut dan terkatung-katung menuruti arah angin.
Setelah keputusanku bulat untuk berpisah dengan Midah, aku menyempatkan diri berkonsultasi dengan seorang teman. Dia sama sepertiku, menjadi pendompleng rumah tangga. Istri kamilah yang mencari nafkah. Bedanya dia tenang-tenang saja menjalani mahligai keluarga, sedangkan diri ini hampir memutuskan tali mahligai itu.
Darinyalah aku mendapat pencerahan. Bahwa amarah istri yang meledak kepada suami yang pengangguran, adalah suatu kewajaran. Karena bagaimanapun, sudah menjadi peraturan berkeluarga, bahwa istri bagiannya mengurusi rumah tangga. Suami yang mecari nafkah di tengah kerasnya kehidupan. "Ya, jalani saja apa adanya seperti aku. Ketika istri sibuk bekerja, aku tak berpangku tangan mengurusi remah-remah rumah tangga, seperti menyuci piring. Mengapa harus malu karena kenyataan yang kita hadapi memang demikian adanya. Tapi kalau ada kesempatan, bekerjalah."
Aku memikirkan perkataan temanku itu. Tapi aku tak ingin kelak hanya mengurusi remah-remah rumah tangga, sedangkan istri bekerja di luar sana. Apakah dunia sudah terbalik? Ya, mungkin amarah istri meledak-ledak tersebab aku sangat terlena dengan kepengangguranku. Jangankan mencari kerja, membantunya mengurusi remah-remah rumah tangga, pun aku ogah. Mudah-mudahan ke depan aku mendapat pekerjaan layak, kemudian bisa membantu istri meringankan beban rumah tangga, sekaligus meredakan amarahnya yang meledak-ledak itu.
---sekian---
RN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H