Ah, isapan jempol! Masa' seorang  polisi termakan oleh cerita murahan itu. Kalau orang tadi menceritakan ada bandar narkoba atau bandar togel di kampung ini, nah, itu baru makananku.
Aku melompati kubangan air setelah yakin penjelasan seseorang di mana Jalan Pakcik Amat. Ketika menikung di dekat gardu listrik, aku melihat plang bertuliskan Cik. Sebagian plang itu rompal entah dimakan rayap atau entah apa. Dari jauh aku sudah melihat rerimbunan menjulang di ujung sana. Semakin dekat, aku baru tahu itu sebatang pohon beringin. Angin dingin membuatku merapatkan jaket. Tas ransel kualihkan dari punggung dan memeluknya.
Mataku bersirobok dengan sebuah bayangan. Seseorang seperti berdiri menatapku di bawah pohon beringin menjulang itu. Ah, mungkin hanya halusinasi. Aku malu termakan oleh cerita pemilik warung tadi. Tetap kulangkahkan kaki, sehingga gerakanku terhenti, manakala mendengar seseorang bersin.
Aku menoleh ke belakang. Ternyata ini khayalan yang nyata. Seorang berambut panjang, mengenakan jaket dan payung hitam, berdiri tegak di bawah pohon itu. Kuraba tengkuk, sedikit merinding.Â
"Mau ke mana Bang?" tanya suara seorang perempuan.
"Kau yang memanggilku?" Aku mencoba tegar. Masa' seorang polisi jadi penakut begini. Jangankan hantu, manusia bersenjata saja tak membuatku gentar. "Aku mau ke rumah kepala desa. Kau tahu ada di mana?"
Dia tertawa halus, mirip tawa kuntilanak. "Oh, mau ke rumah Pak Sanif. Mari, kutunjukkan jalannya." Dia mendekatiku. Bau kemenyan menyerbak dari tubuhnya. Ingin kulihat wajahnya seperti apa, tapi sedari tadi, setiap berbicara, dia selalu menunduk.
Kami berjalan pelan-pelan karena jalan becek dan licin. Hujan tinggal gerimis. Dia menanyakan apakah aku kedinginan. Kurasakan tangannya melingkari pinggangku. Pelan sekali, antara ngeri dan rikuh, aku mendorong tangannya. Jantungku berdegup kencang. Ternyata meskipun seorang polisi, rasa takut itu tetap ada.
"Nah, itu rumah Pak Sanif," katanya. Terdengar lolongan anjing. Kami masuk ke halaman rumah Pak Sanif. Aku mengotak pintu dengan tangan gemetar. Mengucapkan salam, hingga pintu terbuka menampakkan seraut wajah putih. Aku terkejut, tapi mencoba bersikap tenang. Pemilik seraut wajah itu seorang ibu setengah baya yang  mengenakan bedak masker.
"Cari siapa, Nak? Mari masuk!" ucapnya ramah. Saat itulah aku baru tersadar, perempuan berambut panjang, berjaket dan berpayung hitam itu, lesap entah ke mana. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Kebingungan! Ibu setengah baya itu mempersilahkanku duduk di sofa, sementara dia pergi ke arah dalam hendak mengambil sesuatu.
Dia kembali keluar beberapa menit kemudian dengan nampan berisi segelas teh dan setoples kue. Aku tersenyum kecut. Seseorang yang merendengi langkah si ibu, membuatku hampir menjerit.Â