Aku menatap hujan merayap pelan di kaca jendela. Beberapa helai daun akasia mempermain teras. Angin cukup kencang. Hampir maghrib.
Kemanakah Listia? Sejak bertemu Milo, dia seakan tenggelam. Aku mencoba sekadar melihat setitik kasih di matanya. Tak ada sama sekali. Musnah! Aku bingung entah  mau marah, sedih, ingin menangis, entah!
Terlalu luka setelah keakraban kami selama ini. Seminggu lalu, Listia-ku masih manis serupa gulali. Kami masih sempat bercengkrema di taman. Matanya itu, oh... teduh menaungiku ibarat beringin kokoh.
Kami masih juga menikmati akhir malam sambil membaca novel. Selebihnya, setelah aku terkantuk, Listia menyamarkan lampu kamar. Dia mendongeng, terus mendongeng. Dongeng yang selalu diulang setiap malam. Begitupun, aku selalu senang.
Lis, benarkah sekarang kau lebih memilih Milo ketimbang aku? Memang aku tak tampan. Tapi, sayangku tulus.Â
Tak salah kau menyukai Milo. Itu hakmu. Aku hanya kangen Listia-ku yang dulu. Bercengkerama, menikmati kue, membaca novel, mendongeng, haruskah itu hilang?
Kau tak tahu betapa air mata menjelma air hujan ketika aku meringkuk sendirian. Kau hanya memikirkan Milo. Aku mengintip buku diary, penuh dengan Milo. Ketika pulsa sekarat, kau sibuk ber-WA dengannya. Pun saat kau kaya pulsa, kamar sampai budek mendengar nama Milo.
Suara decit ban mobil berhenti. Aku melihat lelaki itu buru-buru keluar dari mobil sambil membawa payung. Dia mempersilahkan kau turun bak bidadari. Kau sangat menikmatinya. Amat menikmati!
Aku segera berlari menuju kamar. Kau berteriak girang setelah derum mobil berlalu. Tarianmu di ruang tamu ditingkahi gelak tawa ibu. Kau mengatakan dibelikan Milo baju baru. Kalian bersantap di restoran mewah. Menonton film romantis yang perdana putar di kota ini. Dan, ahhhh!
Kau bergairah sekali ketika mengatakan Milo akan melamarmu. Kau akan dilamar? Serius? Terbayang betapa aku akan sepi tanpamu. Aku akan kehilangan mata teduh itu, mata teduh pengurai ketulusan
Ketulusan? Aku harus tertawa, atau menangis, entah! Ketulusanmu hanya untuk Milo, kan? Aku? Menyapaku pun kau tak pernah! Itu setelah ada Milo.Â
Terkadang aku ingin rebahan di sebelahmu. Namun, aku takut mendengarmu mendesis. Kau tak ingin diganggu. Kau ingin cepat lelap. Ingin bermimpi Milo. Haruskah aku mengalah dan kalah?
Tiga bulan berlalu, sakit itu menganga luka. Kau disibukkan persiapan dilamar Milo. Luka ini seakan disiram cuka. Lis, sekarang tak hanya kau yang lupa, semua alpa. Aku merasa seperti tak ada. Atau sengaja kalian hilangkan dari kepala?
Ayah sibuk mematut tenda di halaman. Ibu hilir mudik menjadi komando dapur. Dan kau, kau begitu bahagia mematut kebaya.
Air mataku pecah. Hatiku retak berkeping. Ketika tak dianggap, pilihan terbaik menghilang.Â
Aku melompati selokan. Menyeberang jalan. Suara decit itu mengawali segalanya. Terdengar jeritan. Pikiranku kacau. Gelap. Sebuah mobil telah melemparkan aku ke semak belukar.
Ketika itulah tetesan itu menjejak mataku. Aku lihat kau menangis. Kau meratap, "Jangan pergi, Tom. Kau adalah kucing kesayangku." Tangis itu semakin deras ditemani tetes hujan. Mataku semakin sayup. Tak lagi dapat dibuka. Merapat....
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H