Terkadang aku ingin rebahan di sebelahmu. Namun, aku takut mendengarmu mendesis. Kau tak ingin diganggu. Kau ingin cepat lelap. Ingin bermimpi Milo. Haruskah aku mengalah dan kalah?
Tiga bulan berlalu, sakit itu menganga luka. Kau disibukkan persiapan dilamar Milo. Luka ini seakan disiram cuka. Lis, sekarang tak hanya kau yang lupa, semua alpa. Aku merasa seperti tak ada. Atau sengaja kalian hilangkan dari kepala?
Ayah sibuk mematut tenda di halaman. Ibu hilir mudik menjadi komando dapur. Dan kau, kau begitu bahagia mematut kebaya.
Air mataku pecah. Hatiku retak berkeping. Ketika tak dianggap, pilihan terbaik menghilang.Â
Aku melompati selokan. Menyeberang jalan. Suara decit itu mengawali segalanya. Terdengar jeritan. Pikiranku kacau. Gelap. Sebuah mobil telah melemparkan aku ke semak belukar.
Ketika itulah tetesan itu menjejak mataku. Aku lihat kau menangis. Kau meratap, "Jangan pergi, Tom. Kau adalah kucing kesayangku." Tangis itu semakin deras ditemani tetes hujan. Mataku semakin sayup. Tak lagi dapat dibuka. Merapat....
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H