Aku mematut di depan cermin retak. Cantikkah aku? Jangan kata tak cantik. Telah kuhilangkan setiap kecup di bibir dengan polesan gincu. Telah pula kukubur setiap jejak tangan lelaki yang telah membaca seluruh lekuk tubuh ini bersama baju terusan. Baju tertutup yang menunjukkan aku juga layak menjadi perempuan bermartabat. Tak salah kan rembulan comberan bertekad menjadi rembulan telaga yang tenang ketika kau menikmati malam penuh dengan pasangan?
Tak pula kuhirau Mardi yang mengajuk di pinggir gerbong sambil mencekik topi miring. Tak mesti hirau tawaran Mami Anna dengan persekot menggiurkan. Selintas terbayang pelunasan setelah jual beli itu usia. Lelaki itu akan menggenggamkan segepok uang. Memberiku ruang untuk liburan seminggu-dua, menjelajahi hotel ternyaman dan kuliner ternikmat di seantero kota ini.
Masih kuingat tatap Sah seminggu lalu di bawah pohon sawo, pelan-pelan seolah melahapku.
"Jadilah istriku, Mar. Kau bagaikan namamu, memabukkan; Martini," ucapnya kala itu. Kubayar ucapannya dengan senyum geli. Berpuluh lelaki memuja-mujaku sebelum tranksaksi. Usai uang di genggaman, bless,mereka hilang bak air menembus besi panas. Tak menyisakan apapun, kecuali asap halus, lalu hilang.
"Di sini tak berlaku rayuan, Sah. Kau datang, aku kasih, kau bayar, selesai! Tak akan ada yang tersakiti. Kecuali istri. Itu pun kalau dia tahu kartumu. Sudahlah, kita mau ke mana? Pelangganku yang lain tak sabar menunggu.
Rahangnya mengeras. Dia memukul pohon sawo. Beberapa kelelawar menghambur ketakutan.
"Sudah kukatakan aku belum menikah."
"Jadi?"
"Aku akan menikahimu." Dia menggenggamkan segumpal uang. Dia tak menjamah Martini sedikitpun, selain kecupan halus yang singgah di pelupuk mata perempuan itu.
Malam pun merambat pelan. Martini melihat rembulan comberan sisa hujan tadi sore. Akankah dia bisa lebih bemartabat? Dia ingat ucapan Ustaz Sam, tak ada dosa yang tak diampunkan Allah. Bagaimana dengan orang lain? Maukah mereka melupakan kesalahan perempuan lacur seperti dia? Mungkin tak ada yang peduli, meskipun dunia hitam direguknya hanya untuk memanjangkan hidup; dia dan anaknya.
Maka dipeluknya perempun kecil itu yang tertidur di sudut gerbong. Dia menggendongnya. Membawa pulang ke rumah susun.
Terbayang di mata Martini perempuan kecil itu seperti cinderalla di hadapan teman-temannya. Menari-nari mengabarkan sebentar lagi akan mempunyai ayah.Â
Mempunyai ayah adalah harta berharga bagi mereka. Semua tahu ayah mereka banyak. Lebih sering meninggalkan uang. Tak jarang karena keteledoran, meninggalkan tangisan baru; adik-adik kecil mereka.Â
"Mar, apa benar kau akan dinikahi?" tanya Munah saat bertemu di kakus umum?
"Iya, apa ada yang salah?"
"Tak ada yang salah. Tapi, apakah kau yakin? Atau, kau hanya dipermainkan?"
Martini membuang jauh-jauh syakwasangka tentang Sah. Dia teramat senang melihat puteri kecilnya bercerita tentang ayah. Teman temannya menganga. Ayah lebih menggoda dari berkantong-kantong permen terenak di dunia.
Sabar Martini! Sebentar lagi kau akan menjadi perempuan bermartabat. Dia melirik puterinya yang sedang tertidur dengan senyuman. Mungkin perempuan kecil itu sedang bermimpi tentang seorang ayah.
"Sundal! Ini rupanya tempatmu." Seorang perempuan bergelung rambut, bergelang emas, menendang dinding gerbong. Martini terkejut. Putrinya tersentak dan memeluknya.
"Maaf, Bu. Saya berjanji akan menjadi menantu ibu yang baik." Martini menciumi punggung tangan ibu itu. Sebuah tendangan membuatnya terjajar.Â
"Kau pikir aku mertuamu? Camkan! Aku istri Sah, Sundal!" Sebuah tendangan lagi menyudahi segalanya. Bulan comberan sisa hujan sore tadi retak karena terhempas tubuh Martini. Dia tak lari ke mana pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H