Terbayang di mata Martini perempuan kecil itu seperti cinderalla di hadapan teman-temannya. Menari-nari mengabarkan sebentar lagi akan mempunyai ayah.Â
Mempunyai ayah adalah harta berharga bagi mereka. Semua tahu ayah mereka banyak. Lebih sering meninggalkan uang. Tak jarang karena keteledoran, meninggalkan tangisan baru; adik-adik kecil mereka.Â
"Mar, apa benar kau akan dinikahi?" tanya Munah saat bertemu di kakus umum?
"Iya, apa ada yang salah?"
"Tak ada yang salah. Tapi, apakah kau yakin? Atau, kau hanya dipermainkan?"
Martini membuang jauh-jauh syakwasangka tentang Sah. Dia teramat senang melihat puteri kecilnya bercerita tentang ayah. Teman temannya menganga. Ayah lebih menggoda dari berkantong-kantong permen terenak di dunia.
Sabar Martini! Sebentar lagi kau akan menjadi perempuan bermartabat. Dia melirik puterinya yang sedang tertidur dengan senyuman. Mungkin perempuan kecil itu sedang bermimpi tentang seorang ayah.
"Sundal! Ini rupanya tempatmu." Seorang perempuan bergelung rambut, bergelang emas, menendang dinding gerbong. Martini terkejut. Putrinya tersentak dan memeluknya.
"Maaf, Bu. Saya berjanji akan menjadi menantu ibu yang baik." Martini menciumi punggung tangan ibu itu. Sebuah tendangan membuatnya terjajar.Â
"Kau pikir aku mertuamu? Camkan! Aku istri Sah, Sundal!" Sebuah tendangan lagi menyudahi segalanya. Bulan comberan sisa hujan sore tadi retak karena terhempas tubuh Martini. Dia tak lari ke mana pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H