Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Imam Masjid

19 Maret 2019   15:11 Diperbarui: 19 Maret 2019   15:48 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Encokku belakangan ini sering kumat. Maafkanlah aku absen terus shalat berjamaah di masjid. Kan tak baik, bila sebagai imam, tiba-tiba encokku kumat dan shalat seketika distop. Lebih baiklah orang-orang muda saja yang menggantikanku."

Sebenarnya aku menyindir menantunya itu. Tapi, sepertinya haji ini tak tanggap. Dia hanya mengharapkan encokku lekas baikan. Dia akhirnya berdiri, dan pamitan, Sementara aku langsung ke kamar sekadar rebahan di kasur. Istriku yang sedang khusyuk mengaji, seketika terjaga. Dia meletakkan Qur'an di meja sudut kamar.

"Bapak ini kok lucu! Seperti anak kecil saja! Sudahlah, bapak shalat berjamaah lagi ke masjid. Tak enak dilihat orang," kata istriku.

"Tak enak dilihat Allah atau orang?" Aku memunggunginya. Sakit rasanya dibuat tak berharga oleh anak baru kemarin. Kamil itu belum ada apa-apanya dibandingkan aku. Dia hanya seorang tamatan pesantren. Tapi, aku? Aku sudah bertitel haji. Usiaku hampir enampuluhan tahun. Lagi pula aku warga asli Desa Sidorukun. 

Biar sajalah, aku tak usah ke masjid dulu, kecuali hendak shalat Jum'at. Agar warga merasa bahwa aku sakit hati.

Tiba-tiba aku mendengar suara Kamil. Entah dengan siapa dia berbincang. "Pokoknya kalau seluruh warga memilih aku sebagai imam tetap di masjid, Desa Sidorukun akan dilimpahi rahmat oleh Allah."

"Ah, yang benar, Mas?" Seseorang menyela. Aku tak hafal suaranya. Tapi, aku semakin serius mencermati setiap patah kata yang keluar dari mulut mereka.

"Benar!"

"Tapi, bagaimana dengan Haji Lepen? Dia belakangan ini uring-uringan terus. Kalau sampai Mas menjadi imam tetap di masjid, bisa-bisa haji itu minggat dari kampung kita. Haji Lepen orangnya nekatan lho, Mas!"

Aku meradang. Aku langsung meneriakkan nama Kamil dengan penuh amarah. Hanya saja sebuah sentuhan halus membuatku tersadar. Kukucek mata. Aku tersadar bahwa sebenarnya aku baru saja bermimpi.

"Siang-siang kok mengigau, Pak! Makanya, jangan banyak memikirkan yang tidak-tidak. Kamil itu tak usah dimusuhi. Dia lelaki yang baik, sopan dan ramah," kata istriku sehingga telingaku panas. Aku langsung ke kamar mandi. Kataku kepada istri, aku akan pergi ke pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun