Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Demit] Sang Kailani

19 Maret 2019   11:08 Diperbarui: 19 Maret 2019   11:21 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak sampai dua hari semua persyaratan dari Kailani tuntas sudah. Ibu langsung membawanya ke gubuk Kailani demi didoakan dan dijampi-jampi. Aku cuek bebek saja. Kalau tak ingin dianggap durhaka, mungkin aku telah memberikan wejangan kepada ibu. Menasehati sampai hatinya terbuka. Bahkan orang-orang harus difahamkan, bahwa tak layak lagi ilmu klenik diagung-agungkan di jaman modern ini. Bahwa ilmu yang demikian lebih dekat ke musyrik. Mudharat yang didapat sangat banyak, sementara manfaatnya sama sekali nol besar. Tapi apalah daya seorang tamatan Madrasah Aliyah seperti aku. Jangankan memberikan pencerahan---kemudian menyadarkan semua orang yang telah salah-kaprah dengan keimanan mereka---aku sendiri ikut terjeblos ke perbuatan yang seharusnya kuhindari. Terbukti aku mau saja diajak berobat ke gubuk Kailani.

Dalam kebimbangan, lima hari setelah berobat kepada Kailani, tiba-tiba ada berita menghebohkan. Terkabar lelaki yang senang berpakaian hitam-hitam itu terbujur sakit dan nyaris sekarat. Orang kampung langsung merubung seperti lalat menunggui  jasad di gubuk Kailani. Termasuk aku dan ibu. Kailani dibaringkan di atas tikar pandan di sudut gubuk.

"Penyakit yang tiba-tiba diderita Bapak Kailani, mutlak karena penyakit salah seorang pasiennya berbalik kepadanya," kata Kuncen menjelaskan. Dia kelihatan sedih. Bila Kailani mati, mati pulalah mata pencariannya.

"Benarkah?" tanya orang-orang.

"Benar! Lihatlah dua buah benjolan sebesar jempol jari tangan orang dewasa di bawah ketiaknya." Dia menunjukkan dua benjolan itu. Kailani mengerang. "Itulah penyakit yang harus diterimanya karena ingin menyembuhkan pasien."

Orang-orang menggumam. Mereka semakin meyakini bahwa Kailani adalah nabi. Bahkan lebih dari itu. Sementara aku  mundur sedepa demi sedepa. Kemudian menyelinap di antara kerumunan orang. 

5kpAku berlari menjauh. Sekonyong ketika meraba dua belah ketiakku, dua benjolan itu lenyap. Aku tak ingin ini semakin memperparah kepercayaan orang kampung, yang tak lagi kepada Allah, melainkan kepada kedigjayaan seorang Kailani.

Aku sendiri heran, apakah aku sama saja dengan orang kampungku. Tahu agama, tapi tetap berkubang di ilmu yang serba klenik dan magis-magis. Ya, Allah, sadarkanlah aku sehingga tak menjadi orang-orang kalap yang bisa membuat-Mu kalap. 

"Ini hanya sugesti! Ini sugesti! Benjolan yang lenyap di bawah ketiakku adalah berkat Allah, bukan berkat Kailani." Aku akhirnya tak  sadarkan diri.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun