Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Demit] Sang Kailani

19 Maret 2019   11:08 Diperbarui: 19 Maret 2019   11:21 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lumbung penuh padi. Di bawah lumbung, ketela kering bertimbun. Diam-diam ibu telah menanyakan perihal penyakitku itu kepada Kailani. Kata lelaki itu memang benar benjolan di bawah dua belah ketiakku itu adalah hasil guna-guna orang.

* * *

Kami duduk membentuk setengah lingkaran di hadapan Kailani. Meskipun tak pernah bersua setan, tapi menurutku dialah setan yang nyata. Dia mengenakan pakaian hitam-hitam. Menghisap rokok daun nipah. Di depannya ada sebentuk tungku tanah liat. Di dalamnya ada bara, yang sekali-sekali ditaburi butiran kemenyan oleh Kailani. Aroma menyengat menusuk hidung. Ibu menghirup napas dalam-dalam seolah menginginkan semua asap kemenyan masuk ke rongga-rongga dadanya yang menua. Dia menoleh ke arahku seakan ingin mengatakan;  kau tak percaya, kan?

 "Nama?" Tiba-tiba mata Kailani mencorong ke arahku. Aku mundur sepantat. Ibu mendorong punggungku agar maju lagi.

"Rahmad Ramadhan," jawabku tanpa gairah. Kailani berkomat-kamit.

"Nama yang berat!" katanya sehingga membuatku geli. Bagaimana mungkin nama menjadi berat? Bukankah Shakespeare pernah menyeru; apalah arti sebuah nama? Ada-ada saja! "Kau harus mengganti namamu menjadi Rahmad atau Ramadhan saja. Kau harus memilih salah satu dari nama itu yang paling kau sukai." Dia berkomat-kamit lagi. Ibu mengutarakan niat kami mendatanginya, demi meminta penyembuhan atas penyakit yang menderaku.

"Kau diguna-gunai orang!" katanya. "Ada dua benjolan sebesar ujung jempol jari orang dewasa di bawah dua belah ketiakmu." Dia sedemikian cepat menebak penyakitku tanpa bertanya terlalu banyak. Apakah dia benar-benar nabi seperti yang diceritakan orang-orang? Ah, aku hanya tersugesti saja. Pekerjaan ini musyrik. Aku harus menghentikannya! 

Tapi aku tak sanggup ketika menatap mata ibu yang kelihatan sangat puas mendengar perkataan Kailani. Hatinya semakin yakin tentang kehebatan seorang Nabi Kailani.

"Baiklah! Demi mengobati penyakitmu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ayam hitam, yang dari paruh sampai kuku kakinya hitam. Telur dari ayam hitam. Beras. Bunga tujuh rupa. Air dari tujuh sumur. Bla...bla...bla...." Kepalaku sakit melilit-lilit. Aku semakin berhasrat menghentikan praktek pengobatan ini. Aku tak ingin semakin terjebak. Hanya saja, aku tak sanggup. Seolah ada yang menggenggam kakiku dan menjebloskannya ke lantai tanah gubuk.

Usia pengobatan dan ibu menyelipkan selembar uang ke tangan Kailani, hatiku sedikit lega. Aku kembali menghirup udara segar. Kupompakan seluruh udara dari rimbun pepohon ke rongga dadaku yang mengabut oleh asap dari dupa berbau kemenyan itu. Namun tetap saja aku harus pusing tujuh keliling, karena tak lama setelah sampai di rumah, ibuku telah sibuk mencari barang-barang seperti yang disyaratkan Kailani.

"Bagaimana? Pengobatannya tidak repot, kan? Tak perlu uang banyak, dibanding kau harus dioperasi di rumah sakit. Tadi ibu hanya memberikan Bapak Kailani uang duapuluh ribu. Dan semua sudah selesai. Tinggal nanti apa-apa yang disyaratkannya, ibu carikan. Setelah lengkap, barulah didoakannya. Kau tak perlu ikut lagi. Selain tak ada perlunya, kau senang mengoceh. Kailani membisikkan kepada kuncen, dan kuncen membisikkannya kepadaku bahwa kau adalah salah seorang pasiennya yang melawan. Dia tahu kau tak senang diobati. Tapi dia bersabar. Karena mungkin kau masih menjadi orang yang sesat." kata ibu. Aku hanya mesem-mesem. Bukankah sebaliknya kalian sebenarnya orang-orang yang sesat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun