Saya menyeret langkah menuju pintu depan dengan mata masih mengantuk. Suara bel berhenti menjelma ketokan. Orang di depan itu memang tak sabaran. Harusnya, dia tahu ini Minggu. Harusnya, dia tahu kalau setiap hari saya berangkat kerja pagi sekali dan pulang kerja malam sekali. Hingga berkah Minggu bagi saya adalah istirahat tanpa gangguan apapun. Termasuk gangguan anak-istri, yang memilih keluar rumah saban Minggu. Kecuali badan saya tak menuntut istirahat, maka  saya setuju jalan-jalan bersama mereka.
Saya tersentak saat membuka pintu. Cahaya matahari menyambar, membuat saya memicing. Di depan pintu tak ada orang, kecuali sebuah kotak di lantai teras. Saya mendekatinya. Hmm, sebuah paket! Saya menjungkitnya dengan ujung jempol kaki. Tertera nama label penerima di paket itu; H-A-R-S-O!Â
Saya mengangkat, lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Saya menyeduh kopi, mengambil sepotong roti dari bawah tudung saji.Â
Mungkin pengantar paket itu tidak sabar menunggu saya membuka pintu. Dia orang yang tak bertanggung jawab. Bagaimana kalau Harso itu bukan saya? Bagaimana dia mempertanggungjawabkan kepada pengirim bila paketnya tak sampai, sementara saya berlaku cuek sambil mengatakan tak tahu-menahu tentang paket itu?
Iseng-iseng saya membukanya. Tapi suara bel mencegah saya melakukannya Paket itu saya lempar ke atas sofa. Seseorang menunggu di teras. Lelaki berseragam yang tak saya kenal.
"Maaf, dengan Pak Harso?" Dia bertanya ramah, seperti dibuat-buat. Saya tersenyum, pasti seperti dibuat-buat juga. Saya risih dengan orang-orang berseragam, apalagi di hari libur. Â Â
"Benar! Ada apa, ya?" Sepertinya sudah lama saya tak berurusan dengan orang berseragam. Hampir lima tahun. Terakhir kali saya berurusan dengan mereka saat mobil yang saya kendarai menerobos lampu merah.Â
Lalu, tak ada angin, tak ada hujan, kenapa lelaki berseragam mengganggu saya di Minggu pagi begini?
"Maaf, boleh saya duduk?" Lelaki itu melihat ke kanan dan ke kiri. Saya rikuh. Saya menyuruhnya masuk. Di teras tak ada kursi. Tentu tak sopan bila dia saya suruh berselonjor.
Kami duduk di atas sofa. Matanya mengelilingi seluruh ruangan. Saya tiba-tiba cemas. Siapa saja bisa mengenakan seragam. Bagaimana kalau dia sebenarnya berniat jahat? Setelah melihat ke sekeliling ruangan, dia akan mengarahkan pistol ke arah saya. Mengikat tubuh saya. Lalu dia menggasak harta benda saya.Â
"Saya harap Pak Harso berlaku jujur. Karena dengan kejujuran, kami bisa melakukan hal yang terbaik untuk Bapak." Dia berkata dengan dingin. Saya mengigil, tak paham arah pembicaraannya.Â
Paket itu? Saya merasakan ada yang tak beres. Bisa saja ada seseorang yang menjebak saya, dengan perantaraan paket itu, menjobloskan saya ke penjara. Semua serba mungkin di jaman edan ini.
Lelaki yang kemudian memperkenalkan nama sebagai Lintar, mulai menusuk dengan kata-katanya. Mengorek tentang pekerjaan dan keluarga saya. Kegiatan saya sehari-hari selepas ngantor. Saya menjelaskan semuanya dengan gamblang, sembari dia sibuk melihat-lihat lemari yang dipenuhi buku.
"Bapak hobby membaca buku agama, ya!"
"Tentu saja!" jawab saya. Dia berjalan menuju paket itu. Meraih, dan membaca label penerima.Â
"Saya hanya ingin tahu keterlibatan Bapak dengan bom bunuh diri di Komplek Marine." Ucapannya membuat saya tersentak.Â
Kenapa dia tiba-tiba mengarah ke masalah bom bunuh diri? Apa keterlibatan saya dengan kejadian itu? Saya sudah terlalu capek menjalani rutinitas di  kantor. Memikirkan bergabung dengan pelaku bom bunuh diri atau lebih khusus; teroris itu, tak pernah sekalipun melintas dalam pikiran saya. Apalagi sampai terlibat langsung dengan kegiatan mereka. Maka, tegas saya katakan nol besar terhadap teroris. Saya menambahkan mengutuk keras laku teroris.
Lintar merobek paket itu. Beberapa orang berseragam lain masuk tanpa permisi. Mereka bersenjata lengkap dan mengenakan rompi anti peluru. Seseorang yang mungkin paling tinggi pangkatnya di antara mereka, mendekati Lintar. Dia membisikkan sesuatu. Sepertinya Lintar berubah tegang. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam paket yang sudah koyak itu. Sebuah buku yang sepintas judulnya mencantumkan nama Jihad. Lalu, sepucuk pistol.Â
"Tak salah lagi... Tangkap!" teriak Lintar. Orang-orang itu mengepung saya. Mengikat kedua belah tangan dan menutup mata saya. Saya dinaikan ke dalam mobil, di bawa entah ke mana.Â
* * *
Sampai sekarang saya masih bingung kenapa dituduh sebagai salah seorang teroris. Saya berulangkali menyangkal bahwa saya bukan teroris. Tapi seluruh orang berseragam mengarahkan telunjuk ke arah saya. Seluruh awak media menggiring saya hingga dicap teroris. Para pengacara berpaling. Dan kabar yang terdengar di luar sana, orang-orang bergembira atas penangkapan saya. Juga yang paling bergembira adalah Lintar. Pangkatnya naik setingkat. Suatu kali dia menjenguk saya. Dia tersenyum lebar. Entah untuk apa.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H