Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paket

17 Maret 2019   18:12 Diperbarui: 17 Maret 2019   18:22 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menyeret langkah menuju pintu depan dengan mata masih mengantuk. Suara bel berhenti menjelma ketokan. Orang di depan itu memang tak sabaran. Harusnya, dia tahu ini Minggu. Harusnya, dia tahu kalau setiap hari saya berangkat kerja pagi sekali dan pulang kerja malam sekali. Hingga berkah Minggu bagi saya adalah istirahat tanpa gangguan apapun. Termasuk gangguan anak-istri, yang memilih keluar rumah saban Minggu. Kecuali badan saya tak menuntut istirahat, maka  saya setuju jalan-jalan bersama mereka.

Saya tersentak saat membuka pintu. Cahaya matahari menyambar, membuat saya memicing. Di depan pintu tak ada orang, kecuali sebuah kotak di lantai teras. Saya mendekatinya. Hmm, sebuah paket! Saya menjungkitnya dengan ujung jempol kaki. Tertera nama label penerima di paket itu; H-A-R-S-O! 

Saya mengangkat, lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Saya menyeduh kopi, mengambil sepotong roti dari bawah tudung saji. 

Mungkin pengantar paket itu tidak sabar menunggu saya membuka pintu. Dia orang yang tak bertanggung jawab. Bagaimana kalau Harso itu bukan saya? Bagaimana dia mempertanggungjawabkan kepada pengirim bila paketnya tak sampai, sementara saya berlaku cuek sambil mengatakan tak tahu-menahu tentang paket itu?

Iseng-iseng saya membukanya. Tapi suara bel mencegah saya melakukannya Paket itu saya lempar ke atas sofa. Seseorang menunggu di teras. Lelaki berseragam yang tak saya kenal.

"Maaf, dengan Pak Harso?" Dia bertanya ramah, seperti dibuat-buat. Saya tersenyum, pasti seperti dibuat-buat juga. Saya risih dengan orang-orang berseragam, apalagi di hari libur.   

"Benar! Ada apa, ya?" Sepertinya sudah lama saya tak berurusan dengan orang berseragam. Hampir lima tahun. Terakhir kali saya berurusan dengan mereka saat mobil yang saya kendarai menerobos lampu merah. 

Lalu, tak ada angin, tak ada hujan, kenapa lelaki berseragam mengganggu saya di Minggu pagi begini?

"Maaf, boleh saya duduk?" Lelaki itu melihat ke kanan dan ke kiri. Saya rikuh. Saya menyuruhnya masuk. Di teras tak ada kursi. Tentu tak sopan bila dia saya suruh berselonjor.

Kami duduk di atas sofa. Matanya mengelilingi seluruh ruangan. Saya tiba-tiba cemas. Siapa saja bisa mengenakan seragam. Bagaimana kalau dia sebenarnya berniat jahat? Setelah melihat ke sekeliling ruangan, dia akan mengarahkan pistol ke arah saya. Mengikat tubuh saya. Lalu dia menggasak harta benda saya. 

"Saya harap Pak Harso berlaku jujur. Karena dengan kejujuran, kami bisa melakukan hal yang terbaik untuk Bapak." Dia berkata dengan dingin. Saya mengigil, tak paham arah pembicaraannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun