"Apakah Emak akan bunuh diri? Mencebur ke kolam? Minun racun tikus?" Piah nyerocos.
"Husss! Ngomong kok ngawur!" Rokian melotot.
Sejenak hening. Bukan sebab mereka sedang gulana. Melainkan istri Rokian menghidangkan dua piring pempek dos dan semangkuk cuko yang kental. Plus es doger tiga gelas yang mengundang selera. Bagaimanapun, risau terlerai. Piah dan Bibah reflek seolah berebut ketika Rokian mempersilahkan menyantap hidangan ala kadarnya dengan mimik wajah dan ujung bibir yang monyong.
Perbincangan kemudian semakin alot. Pertama diputuskan Rokian yang pulang melihat Emak tanpa membawa kain putih. Tapi mengingat Emak meminta sangat kain putih itu, diputuskanlah  Bibah membelinya ke Pasar 16 Ilir, sekalian ikut mudik bersama Rokian. Piah tak mau ketinggalan, ngotot ikut juga.
"Ini seperti mudik lebaran jadinya!" gerutu Rokian. "Kantongkulah yang bakalan koyak."
"Nah, kalau Emak tiba-tiba tak berumur panjang, aku tak bisa melihatnya lagi." Piah manyun.
"Husss!" Rokian langsung masuk ke kamarnya.
***
Perjalanan yang melelahkan. Pikiran dan hati yang berkecamuk tentang nasib Emak, tak lagi membuai. Piah terlalu sibuk dengan perutnya yang melonjak-lonjak. Sudah tiga kantong kresek muntahan antara Palembang dan dusun Emak. Sementara Bibah selalu merutuk.Â
Bau durian masam, bahan baku tempoyak, mengoyak seisi bus. Entah siapa yang membawanya. Belum lagi bau minyak angin, parfum murahan, ketiak, seakan merobek-robek hidung dan menggunting seluruh bulu hidung Bibah.Â
Lain pula dengan Rokian, hanya tertidur pulas. Dia memang sudah meyakinkan adik-adiknya agar tak ikut mudik. Karena pilihan terakhir mudik adalah dengan menumpang bus, setelah sedan buruk Rokian sebenar merajuk.