Lanjutnya, "Misalkan kau duduk bersama  teman-teman yang kau katakan saling sayang-menyayangi. Lalu kau sedang lapar berat dan membeli hanya sebungkus nasi rendang. Maka siapa saja yang mendekat di antara mereka, kau anggap musuh. Kau anggap mengurangi jatah makanmu.Â
Hingga ketika merasa baru kenyanglah kau bisa beramahtamah lagi dengan mereka. Tapi mengenai proyek seni atau apalah yang ujung-ujungnya duit, tak memiliki rasa kenyang. Sebab tempatnya bukan di perut yang memiliki over limit, tapi mempunyai tempat yang sangat luas, seluas jagat raya.Â
Nah, berbeda bila cinta dan kasih sayang itu tulus. Misalnya, ketika kau belum menyuapkan nasi ke mulutmu, tiba-tiba sang pacar idola datang. Kau pasti seketika merasa kenyang. Nasi rendang itu kau relakan  buat pacar tercinta."
"Kalau istri yang datang, bagaimana, Abi?"
"Lihat kondisinya dulu. Kalau istri yang baru kita dinikahi belum sampai tiga bulan, mungkin kita masih rela berbagi dengannya untuk sebungkus nasi rendang. Tapi kalau sampai berbilang bulan atau tahun, kebanyakan lelaki mulai menganggap istrinya musuh, meski di mulut tetap cinta. Buktinya, di rumah katanya bokek, tapi di luar bisa membayari perempuan lain berpinggan bistik." Dia tertawa.
"Jadi, bagaimana caranya?"
Abi menatapku. "Jadi cintailah apa yang bisa kau kerjakan. Jangan melihat orang, mengapa bisa begini, mengapa harus begitu. Ketika kau mencintai pekerjaanmu, misalnya menulis, maka kau hanya merasakan kenikmatan,plus materi hanya sebagai bonus. Bukankah kenikmatan itu tak bisa dihargai dengan uang?"
"Ya, benar juga, Bi. Berarti apa yang kita butuhkan sekarang adalah cinta tulus ya, Bi?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Cinta tulus untuk berbagi!" tekannya.
* * *
Sudah seminggu ini aku tak bertemu Abi. Ke rumahnya, hanya sepi yang menyambutku. Penjual es sop buah yang mangkal tak jauh dari rumahnya mengatakan, dia mudik ke Jawa. Mau melihat keponakannya menikah.