Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Abi

15 Maret 2019   08:25 Diperbarui: 15 Maret 2019   08:34 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkinkah lelaki baik-baik yang kukenal hanyalah bertopeng atas tingkah-lakunya yang brutal? Sebab, sudah sering kubaca di buku-buku, bahwa orang yang pintar dan licik adalah orang yang bisa menunjukkan dirinya secara ekternal berbeda dengan internal. Di luar serupa domba, di dalam hati hanyalah srigala. 

Tapi sekali lagi, Abi tak mungkin berbuat sesuatu yang menyimpang dari apa yang dikatakannya kepadaku selama ini. Bahwa setiap manusia harus saling mencintai. Mencintai secara tulus dari lubuk hati paling dalam. Bukan sekedar pewarna bibir, yang segera hilang dilantak banyu.

Abi, Abi. Di mana sih, kau!

* * *

Aku tergeregap dan meloncat dari tempat tidur Segera kukenakan sandal jepit, buru-buru keluar kamar kontrakan sambil menendang pintu. Mahmud yang sudah menunggu di depan, mengoceh karena ujung daun pintu meninju tulang kering kakinya. Sambil terpincang-pincang, dia mencoba mengejar langkahku yang memburu.

"Benar katamu anak-istri Abi ditangkap? Di mana?" Aku berhenti di halte bis. Mahmud membuang napas lega, lalu menyandarkan punggungnya di tiang besi. Keringatnya sebesar biji jagung.

"Benar, Maliki! Benar sekali! Aku malahan melihatnya digiring polisi dari mobil jeep hitam menuju gedung polda. Istrinya melihatku sepintas. Anaknya menangis di gendongan memanggil nama bapaknya," jelas Mahmud sambil terengah.

Darahku mendidih. Aku tak senang trik aparat yang menangkap keluarga seorang terduga pelaku kejahatan. Mereka sama saja bandit di film-film. Menyandera keluarga untuk mempermudah mendapatkan mangsa yang mereka inginkan. Padahal mangsa itu belum tentu yang mereka mau. 

Aku mendelik. Kutarik krah baju lelaki di dekatku sampai matanya mendelik. "Apa kau yang membocorkan tempat tinggal Abi di Jawa?"

Dia menepis tanganku kasar. "Mana mungkin, Ki! Lagipula kapan aku tahu alamat keluarga Abi di Jawa? Apa kau sendiri tahu dan pernah ke sana?" Dia menyudutkanku. Dan aku benar-benar tersudut, terduduk di kursi halte. Aku memang mengenal Abi, istri dan anaknya sedemikian dekat. Namun aku sama sekali buta tentang keluarganya di Jawa.

"Jadi ke polda tidak?" jerit Mahmud. Aku lesu. Aku menggeleng ragu. "Kenapa?" lanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun