"Oh, anu!" Lelaki itu masuk ke dalam warung Sugik. "Saya kehilangan barang. Anu, tadi pagi mungkin terjatuh dari tas saya."
"Barang apa kira-kira, Mas?" Istri Sugik mengambil-alih omongan.
"Uang, Bu. Saya memang tak menghitungnya. Tapi tadi, kata bos saya, jumlahnya lima belas juta, gitu. Wah, saya pasti kena damprat habis nih. Bagaimana saya bisa menggantinya?" Dia mengelap kening. Wajahnya semakin pucat.
Sugik masuk ke dalam rumah. Istrinya mengekor. Istrinya berceloteh panjang-pendek. Mewanti-wanti ini-itu. Tapi Sugik pura-pura tak mendengar. Uang yang masih dalam amplop, dia bawa keluar.
"Saya memang menemukannya. Tadi di lantai warung. Isinya memang cukup. Lima belas juta. Tak saya kurangi. Iya kan, Dek?" Yang dipanggil Adek pura-pura berwajah manis. Dalam benaknya, kendati tak jadi memiliki uang lima belas juta, dapat persenan saja, lumayanlah.
Lelaki itu sumringah. Wajahnya yang tadi pucat, sedikit memerah. Dia tak berhenti-hentinya mengucapkan terima kasih banyak. Kemudian sebelum melangkahkan kaki keluar warung, dia ragu-ragu---seperti malu---lalu mengambil dompetnya.
"Sebagai ucapan terima kasih saya...."
"Oh, tak usah Mas. Biarlah, Mas bawa saja uang itu. Uang itu bukan hak saya. Tenaga saya juga tak sampai terkuras untuk mengambilnya di lantai dan menyimpannya." Sugik meringis. Si istri menginjak keras jempol kaki kanannya.
"Tapi....." Lelaki itu tak enak hati. Sugik tahu kalau orang itu hanya pekerja. Bisa jadi penghidupannya masih lebih melarat dari Sugik. Kasihan, kalau dia memberi persenan kepada Sugik dari isi dompetnya sendiri. Bagaimana dengan anak-istrinya?Â
Lelaki itu pergi dengan bibir yang basah oleh ucapan terima kasih banyak berkali-kali.
* * *