Mulut perempuan itu meruncing. "Kakak ini, selalu yang dicari pahala. Selalu ingin beramal. Mana bisa kaya, Kak!" Dia memunggungi suaminya yang langsung salah tingkah.
"Kakak bukannya mau mencari pahala atau beramal. Kakak cuma kasihan kepada pemilik uang ini. Coba kalau kita yang kehilangan uang lima belas juta. Apa kita tak sampai kelabakan? Dek, segala sesuatu itu harus ditarik ke diri kita. Apa rasanya enak, apa rasanya sakit. Jadi, hidup kita bisa tenang ."
Meskipun menuruti kata-kata Sugik, perempuan itu menjadi pendiam. Dia tak lagi senang bercanda, selain pura-pura asyik menonton sinetron di tivi yang sesungguhnya tak disukainya. Atau dia memilih tidur dan membiarkan Sugik mengurusi warung sendirian. Sugik yang merasa benar---tapi tetap merasa bersalah karena membuat istrinya ngambek---hanya bisa mengelus dada. Dia sudah berjuang sepanjang hidupnya untuk berlaku jujur. Kenapa perkara uang di amplop itu, dia harus gelap mata dan menyimpang dari komitmen? Ibarat kemarau setahun, habislah dilantak hujan sehari.
* * *
Sugik terkejut. Dia mengaduh karena kepalanya terantuk kusen pintu. Apa pasal pula siang-siang begini istrinya berteriak-teriak seperti Tarzan.
"Ada apa?" tanyanya sengit
Istrinya datang dengan mata berbinar. "Itu, Kak. Di depan ada orang yang sedang mencari barang yang hilang. Mungkin yang punya uang itu."
"Terus apa yang kau bilang?" Kepala Sugik masih pening.
"Belum bilang apa-apa. Kakak saja yang menghadapinya." Istri Sugik mengekori suaminya ke warung. Seorang lelaki berwajah pucat, sedang memelototi sekitar depan warung Sugik.Â
Ya, Sugik ingat sekarang. Lelaki itu tadi pagi singgah di warungya. Kalau tak salah membeli tiga batang rokok. Tapi Sugik tak mau gegabah. Dia harus lebih teliti, jangan sampai uang itu jatuh ke tangan orang yang salah.
"Cari apa, Mas?" tanya Sugik ramah.Â