Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dusun dalam Belit Misteri

11 Maret 2019   15:02 Diperbarui: 11 Maret 2019   15:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya mereka menemukan tempat rahasia yang sangat jauh dari pemukiman penduduk. Tersembunyi di balik bukit, serta rimbunan daun. Di sanalah mereka membangun ordo sendiri, lalu memutus sama sekali hubungan dengan dunia luar. 

Kehidupan mereka melaju pesat. Dan mereka tak mau seorang manusia dari daerah lain mencoba merampas kesenangan mereka, sekaligus mencuri ilmu-ilmu tentang pemanfaatan tenaga listrik dari air  yang sangat ajaib. Maka, setiap ada yang mencoba mendekat ke dusunnya, langsung dibunuh. Namun kalau mereka kasihan, paling tidak para manusia iseng itu akan dicuci otaknya, lalu kembali ke habitatnya kondisi gila.

Ah, betapa mengagumkannya kehidupan di dusun Sintaro. Kami takjub melihat bagaimana sebuah turbin besar yang hanya berbahan bakar air dari telaga, menerangi seluruh dusun. Orang-orang memanfaatkannya dengan gratis. Mereka bercocoktanam juga dengan peralatan listrik sehingga efisian. Semuanya serba listrik, dan masyarakatnya menjadi makmur.

Aku dan Tuan Lontare merasa sangat senang. Kami telah menyerap ilmu langka, yang sebentar lagi akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia. Aku pun telah mencatat semuanya di buku kecil, sehingga nanti dengan mudah membuat sebuah novel tentang dusun yang menakjubkan itu. Aku yakin novel itu akan laris manis.

Menjelang malam kedua tinggal di dusun itu, tiba-tiba serombongan bertopeng mendatangi kami. Kepala kami ditutupi sebentuk topi dari baja yang disambungnya dengan kabel malang-melintang. Kami sadar akan dibuat gila. Sayang, kami tak bisa memberontak. Lalu lima hari kemudian, semuanya terasa aneh. Aku dan Tuan Lontare tiba di daerah asalku tanpa tahu apa-apa. Maka kelak jangan heran bila melihat kami berdua mengorek-ngorek tong sampah sambil tertawa cekikikan atau menangis sesunggukan. Kami memang telah gila. Dan aku, Tuan Lantore, berharap jangan pernah menanyakan lagi tentang kisah dusun itu. Kami telah lupa. Kami benar-benar melupakannya.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun