Dusun itu terlipat-lipat di antara bebukitan. Di sela jalinan daun-daun berpohon besar. Tersembunyi dari dunia luar, sehingga tak seorang pun berhasil menemukannya. Dia hanya menjadi legenda. Belasan petualang nekad pernah mencoba menemukan dusun itu, tapi mereka menghilang tanpa jejak. Belasan lagi bisa pulang ke daerah masing-masing, dengan kondisi menjadi orang gila. Menurut berita yang tersiar, dusun itu dilindungi begu-begu. Barang siapa yang mendekatinya, kemungkinan akan dibunuh atau dicuci otaknya sampai gila. Maka, sampai sekarang, tak seorang pun berani memikirkan, apalagi pergi ke dusun itu, kecuali aku, Tuan Lontare serta beberapa pesuruh.
Tuan Lontare seorang ilmuwan dari Amerika, dan hampir seratus bulan mencoba menyambangi tempat-tempat rahasia di seluruh pelosok Indonesia, yang konon menjadi legenda dan tabu didatangi manusia. Ternyata dia berhasil menemukannya hampir enampuluh tujuh persen. Dia berasumsi, itu karena usianya memang enampuluh tujuh tahun. Maka dia yakin akan bisa menyambangi dusun berikutnya kali ini. Sesuai dengan umurnya yang menginjak enampuluh delapan tahun. Tentu saja keberhasilan keenampuluh delapan persen akan menemuinya.
Hanya kelakar memang, tapi masuk di akal. Sebab itu, aku berani menemaninya mencari dusun di balik bebukitan dan timbunan daun berkelindan. Selain aku penduduk asli  yang tinggal sekitar duapuluh sembilan kilometer dari keberadaan dusun yang menjadi legenda itu,  aku juga ingin menuliskan kisah nyata perjalananku kelak dalam sebuah novel yang pasti bombastis. Itu harapanku, andainya aku berikut rombongan petualang tak hilang tanpa jejak, atau bisa kembali ke daerahku dengan kondisi gila. Ya, satu pilihan, adalah kembali dengan waras, lalu cepat-cepat menuliskannya di mesin tik tua merk brother milikku.
"Jalan semakin curam. Kondisi semakin gelap. Kemarikan senter," kata Tuan Lontare bergetar. Bibirnya semakin menghitam sebab sejak memulai petulangan beberapa jam lalu, dia tak lepas-lepasnya menyeruput rokok Marlboro. Hampir dua bungkus dihisap, sehingga mengabutkan paru-parunya.Â
Begitu senter berada di tangannya, dia mendongak. Daun-daun di atas kami sangat pelit. Mereka saling bertaut, sehingga cahaya matahari siang susah menembus selanya yang sempit. Setelah senter dinyalakan, dia berhenti. Beberapa pesuruh di delakang kami kelihatan lelah. Di kening mereka muncul keringat dingin. Wajar tentu, karena telah berjam-jam mereka memundak barang-barang Tuan Lontare yang belum tentu ringan. Sementara barangku tak satu pun kutitipkan kepada mereka. Aku hanya membawa pakaian di badan, sebuah buku kecil dan lima batang pena. Â Bekal makanan, aku hanya berharap kemurahhatian Tuan Lontare. Di barang-barang yang dipundak pesuruh, pasti tersedia berkaleng susu encer, potongan-potongan keju, mentega, roti dan berkaleng ikan sarden. Hmm, membayangkannya terbit rasa laparku.
Mungkin Tuan Lontare memahami kata hatiku, sehingga diputuskan berhenti sejenak di tanah yang landai. Saat para pesuruh bergabung bersama kami, barulah semua kebingungan. Para perusuh yang sebelumnya berjumlah lima orang, sekarang tersisa empat.
"Mana yang kecil itu. Si Lumpat namanya, kan?" Tuan Lontare curiga.
"Tadi buang air kecil dulu di bawah. Kita tunggu saja." Lelaki berperawakan tinggi besar menjawab. Dia adalah kepala pesuruh yang dibayar mahal oleh Tuan Lontare demi suksesnya petualangan kami.
Setelah makan, dan minum air bebukitan, Lumpat belum kelihatan batang hidungnya. Kami mulai cemas. Kepala pesuruh berinisiatif menyusulnya ke bawah. Tapi saat kembali, dia ketakutan. Dia melemparkan sebuah selop berbercak darah ke tengah-tengah kami. "Lumpat pasti telah mati. Dia dimakan begu-begu. Aku tak mau lagi melanjutkan misi ini. Takut! Mau pulang saja!"
"Lho!? Bagaimana ini? Misi harus selesai," ucap Tuan Lontare tak senang. "Lagipula persekot sudah kuberikan."
Lelaki itu mengeluarkan segumpal uang dari uncang yang terlilit di pinggangnya. "Ambil saja, Tuan. Â Aku lebih butuh nyawa daripada uang. Aku menyesal karena telah berani-berani mencoba mencari dusun misterius itu. Padahal legenda tentang keangkerannya sudah mengarat di batin masyarakat kami. Lagipula aku juga tak ingin gila ketika nanti aku tak tewas."